Ada Pesan Moral Di Balik Cerita Ini
Dulu kala, seorang tetangga pernah datang ke rumah menemui orangtua saya. Ketika itu, ia datang lalu menangis cukup lama, kemudian akhirnya bercerita perlahan-lahan tentang masalah yang sedang dialaminya.
Cukup panjang lebar tetangga saya itu menceritakan masalahnya. Saya sebenarnya nggak nguping satu per satu karena saya sibuk. Sibuk berpura-pura terlihat lagi ngapain gitu biar seolah-olah saya memang nggak menyimak apa yang sedang terjadi di ruang tamu kami andai tiba-tiba saja orangtua saya memergoki saya duduk di sini, di balik tangga ruang tamu.
Setelah agak lama, ruang tamu terdengar hening seperti nggak ada satu manusiapun di sana. Orangtua saya memang dari tadi cuma diam mendengarkan. Dan saya nggak lagi mendengar tetangga saya menangis. Oh mungkin sudah lega, kata saya dalam hati, sok tahu.
Tapi kemudian saya mendengarnya mengucapkan ini:
"Andai saya tahu jalan hidup saya akan seperti ini, sesakit ini, sehancur ini, lebih baik dulu saya tidak memutuskan untuk berkeluarga."
Saya tertegun. Cukup lama. Ada sekepal udara tersendat di tenggorokan.
Seingat saya, tetangga saya itu adalah seorang perempuan bekerja dengan karir yang sukses (banget!). (Ia adalah seorang direksi di salah satu bank terbesar di Indonesia). Suaminya nggak kalah sukses. (Suaminya pun seorang direksi di salah satu perusahaan penanaman modal asing ternama di Indonesia). Mereka punya sepasang anak dengan segudang prestasi plus bonus yang bikin sirik seluruh ibu-ibu arisan di kompleks: yang laki-laki ganteng seperti bapaknya, yang perempuan cantik seperti ibunya. Dua-duanya sedang bersekolah di luar negeri.
Dan saya masih tertegun. Lama sekali.
Lalu saya kembali ke kamar saya dan membuka laptop.
* * *
Pesan moral: jangan suka curhat sembarangan. Siapa tahu di sekitaran ada orang yang suka iseng menuliskan curhat orang lain ke blog pribadinya. Pokoknya jangan.
Cukup panjang lebar tetangga saya itu menceritakan masalahnya. Saya sebenarnya nggak nguping satu per satu karena saya sibuk. Sibuk berpura-pura terlihat lagi ngapain gitu biar seolah-olah saya memang nggak menyimak apa yang sedang terjadi di ruang tamu kami andai tiba-tiba saja orangtua saya memergoki saya duduk di sini, di balik tangga ruang tamu.
Setelah agak lama, ruang tamu terdengar hening seperti nggak ada satu manusiapun di sana. Orangtua saya memang dari tadi cuma diam mendengarkan. Dan saya nggak lagi mendengar tetangga saya menangis. Oh mungkin sudah lega, kata saya dalam hati, sok tahu.
Tapi kemudian saya mendengarnya mengucapkan ini:
"Andai saya tahu jalan hidup saya akan seperti ini, sesakit ini, sehancur ini, lebih baik dulu saya tidak memutuskan untuk berkeluarga."
Saya tertegun. Cukup lama. Ada sekepal udara tersendat di tenggorokan.
Seingat saya, tetangga saya itu adalah seorang perempuan bekerja dengan karir yang sukses (banget!). (Ia adalah seorang direksi di salah satu bank terbesar di Indonesia). Suaminya nggak kalah sukses. (Suaminya pun seorang direksi di salah satu perusahaan penanaman modal asing ternama di Indonesia). Mereka punya sepasang anak dengan segudang prestasi plus bonus yang bikin sirik seluruh ibu-ibu arisan di kompleks: yang laki-laki ganteng seperti bapaknya, yang perempuan cantik seperti ibunya. Dua-duanya sedang bersekolah di luar negeri.
Dan saya masih tertegun. Lama sekali.
Lalu saya kembali ke kamar saya dan membuka laptop.
* * *
Pesan moral: jangan suka curhat sembarangan. Siapa tahu di sekitaran ada orang yang suka iseng menuliskan curhat orang lain ke blog pribadinya. Pokoknya jangan.