Mulan (2020): Disney atau Mandarin?

Alur cerita 6/10. Akting 7/10. Sinematografi 8/10. Musik 7/10.

Mulan live action di Indonesia akhirnya tayang awal Desember ini. Penonton di sini bahkan bisa memilih untuk mendengar Luna Maya sebagai penyulih suara Mulan.  

Peringatan (spoiler alert): seluruh bagian dari tulisan ini akan membocorkan jalan cerita film Mulan (2020)

* * *

Rating rendah pada situs IMDB diberikan oleh penonton yang marah karena selain harus membayar terlalu mahal (di awal perilisannya yang eksklusif, penonton harus membayar USD30 untuk dapat mengakses filmnya), mereka juga kecewa karena filmnya sangat jauh dari ekspektasi. Mereka bertanya, Disney, what have you done to Mulan we have been knowing all this time? Tentu saja Mulan yang mereka maksud adalah Mulan versi animasi dari kacamata Amerika yang muncul tahun 1998 silam. 

Produk-produk Disney kadung dikenal dengan 2 ciri khasnya yaitu unsur musikal (baca: karakter utama akan mendapat porsi adegan bernyanyi solo) dan unsur komedi (baca: kemunculan karakter pendamping yang tingkahnya kocak alias pembanyol). Kedua ciri khas itu tak ditemukan dalam Mulan live action. Kalau saja Christina Aguilera tahu bahwa Mulan kali ini tidak akan bernyanyi, mungkin ia pun nggak akan terlalu bersusah payah menyanyikan ulang lagu Reflection dengan suara yang begitu meliuk-liuk sebab buat apa. 

Lalu, apa yang disuguhkan oleh Disney kali ini? Pertama: Disney berniat “mengembalikan Mulan ke kisah aslinya”. Disney merasa perlu melakukan itu karena meski sukses secara global, Mulan versi animasinya tak mendapat sambutan hangat di negara asalnya: Cina daratan a.k.a Tiongkok. Disney menyadari bahwa masyarakat Tiongkok merasa tidak nyaman dengan karakter Mushu, naga kecil yang kerap bertingkah konyol, berbanding terbalik dengan naga yang mereka percayai selama ini: besar, kuat, berwibawa. Akibatnya, Disney tak bisa meraup keuntungan di Tiongkok. Karena itulah sejumlah penyesuaian pun dilakukan antara lain menghilangkan karakter Mushu serta mengganti nama keluarga Mulan dari Fa menjadi Hua. Namun demikian, bagi penggemar Disney, perubahan-perubahan tersebut ternyata dianggap tak cukup membuat Mulan live action menjadi lebih baik dibandingkan versi animasinya, termasuk kemunculan adik perempuan Mulan yang tak berfungsi apapun ke dalam plot cerita selain ini: Mulan dalam kisah aslinya memang memiliki seorang adik.

Kedua: Disney menekankan inti cerita hanya pada sosok Mulan seorang, yang tak memerlukan karakter lain untuk menentukan jalan hidupnya, berbeda dengan karakter putri-putri Disney lainnya. Tak ada lagi “and then they lived happily ever after...” untuk menggambarkan akhir kisah putri-putri Disney. Dari titik ini, Disney tak lagi menyasar penonton di belahan negeri dongeng. Disney terlihat sangat ingin merangkul penggemar Mulan di TiongkokMulan sejak kecil diceritakan telah mahir bela diri menggunakan sebilah bambu. Dengan energi chi-nya yang sempurna (kekuatan untuk menyeimbangkan beban tubuh), Mulan terlihat leluasa melompat-lompat di udara. Tentu saja terobosan Disney itu boleh-boleh saja, hanya, dengan hilangnya dua ciri khas Disney tadi, banyak penggemar Disney menganggap Mulan ini lebih menyerupai film silat Mandarin ketimbang film Disney. 

Benarkah? 

Kebetulan, saya tumbuh dengan film silat Mandarin mengisi hari-hari saya sejak kecil semacam Princess Cheung Ping (1981) hingga yang paling populer: Sia Tiauw Eng Hiong (1983) (Siapa yang nggak kenal serial Trilogi Rajawali ini? Bukan teman saya pasti, hahaha). Semuanya sangat melekat dalam ingatan saya. Begitu pula film-film non serial lainnya semacam Ip Man (2008 - 2019), dan film yang penuh dengan humor konyol di setiap adegannya semacam Kungfu Hustle (2004).

Bagi saya, Mulan adalah film Disney, bukan film Mandarin. 

Alasannya banyak, bukan hanya pilihan bahasa yang digunakan. Salah satu yang terpenting adalah, film ini sebetulnya memiliki tema utama konflik panjang antara Kaisar dan pemberontak. Semula saya pikir Disney setidaknya akan membeberkan kejahatan tokoh antagonisnya, Bori Khan, dan kelompoknya, sehingga penonton paham kenapa Kaisar sangat ingin menumpas mereka. Namun Disney memilih menyederhanakan konflik yang kemudian mengingatkan kita pada sebuah dogma pragmatis: negara adalah baik, separatis adalah jahat. Bori Khan digambarkan berambut gondrong dan gimbal. Kayak nggak pernah mandi. Matanya melotot dan bercelak tebal. Penonton sudah seharusnya menduga bahwa ia jahat tanpa perlu dijelaskan. 

Kemudian, 3 kata sakti ini: honor, loyal, brave—3 konsep kehidupan dalam budaya masyarakat Tiongkok—kerap diucapkan hingga berulang kali oleh para pemerannya, seakan-akan film ini sangat ingin meyakinkan penonton bahwa, hey, ini film Mandarin, lho! 

Lalu yang juga menarik adalah penggambaran kampungnya Mulan. Pakaian yang dikenakan para penduduknya tampak indah dengan warna-warni solid. Sepanjang yang saya tahu, rakyat jelata Tiongkok pada zaman itu tak mengenakan pakaian dengan warna-warni mencolok, selain karena adanya aturan kerajaan, proses pewarnaan kain pada zaman itu tergolong mahal, sehingga kalaupun ada, hanya dikenakan oleh bangsawan, bukan rakyat jelata seperti di kampungnya Mulan. Disney barangkali ingin membuat suasana kampungnya Mulan terlihat sedap dipandang mata. Instagrammable. Akurat atau tidak, itu persoalan nanti. 

Dan ada satu adegan yaitu ketika identitas Hua Jun terbongkar oleh seekor Burung Sihir, wajah Hua Jun yang semula kotor berdebu mendadak bersih, seakan-akan di balik layar ia sempat mencuci wajahnya menggunakan skin care terbaik: anti polutan yang membuat wajah tetap glowing meski sedang baku hantam di medan perang. (Saya jadi ngebayangin diri sendiri, jangankan berlaga sambil akrobat di atas kuda yang berlari, naik ojek ngebut dikit aja muka saya langsung awur-awuran.) 

Terakhir, adegan tarung yang ditampilkan relatif terlalu singkat dengan koreografi kung-fu yang tak istimewa. Sepanjang film, saya sangat menunggu adegan pamungkas Mulan dan Kaisar bertarung melawan Bori Khan, apalagi Kaisar bilang bahwa ia akan membunuh Bori Khan dengan tangannya sendiri. Tentu saja saya berdebar menanti aksi Jet Li. Namun saya harus kecewa. Memang, semestinya untuk hal ini saya tak boleh berharap pada Disney. 

Memajang nama-nama besar di dunia martial arts sekelas Jet Li, Donnie Yen, Gong Li, tak cukup mengangkat Mulan untuk bisa disandingkan dengan film-film silat Mandarin sekelas Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) atau House of Flying Daggers (2004).  

* * *

Jadi, bagi saya Mulan layak dinikmati sebagai film Disney. Ini jauh lebih baik ketimbang mengingat-ingat bahwa dulu kala, jauh sebelum Mulan versi animasinya muncul ke dunia, Disney pernah ingin membuat film tentang seorang perempuan Tiongkok (juga) bernama Mulan yang melarikan diri dari tanah airnya dan pergi ke Eropa untuk menikah dengan pujaan hatinya: seorang pangeran Inggris yang tampan dan kaya raya...... 

RP
Desember 2020 

(Saya jadi ingin tahu apa yang ada di dalam benak Disney ketika meminta Niki Caro menyutradarai film Mulan ini... Apakah Disney tahu, bahwa jika kita menyerahkan sesuatu bukan pada ahlinya, maka kita akan melihat kehancurannya... 😊 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)