Nokturnal [Catatan Harian Minki-ya]
Kisah sebelumnya:
https://ratuputti.blogspot.com/2021/08/obituari-pertama-catatan-harian-minki-ya.html
https://ratuputti.blogspot.com/2021/08/obituari-pertama-catatan-harian-minki-ya.html
Aku pernah bertanya pada Mama Ting Ting mengapa setiap kali Mama
bertemu si Oom selalu di malam hari?
Mama bercerita, dahulu, jauh sebelum domestikasi terjadi,
kucing sebagai karnivora murni adalah makhluk yang aktif di malam hari untuk
mencari mangsa. Di siang hari kegiatan kami hanyalah tidur. Seperti
juga kelelawar, musang, dan sedikit makhluk nokturnal lainnya, mata kami
memiliki selaput ekstra bernama tapetum lucidium yang terletak persis di
belakang retina, terdiri dari lapisan-lapisan membran yang membantu kami untuk beradaptasi
dengan kondisi gelap. Di dalam membran-membran itu terdapat
sel-sel yang memantulkan cahaya. Itulah sebabnya mengapa kalian sering
melihat mata kami menyala dalam kegelapan. Karena Mama keturunan siamese, warna yang menyala pada mata Mama adalah merah berkilau persis batu permata
ruby.
Suatu malam,
Mama pernah diajak si Oom pergi berkeliling wilayah kekuasaannya. Si Oom ingin
memamerkan kekasih hatinya sekaligus memberikan kode: cewek cantik di rumah itu
adalah milik aku! Jangan pernah kalian berani mendekatinya. Mama merasa bangga.
Seperti dugaan Mama, si Oom tidak sedikitpun membiarkan Mama kelaparan malam
itu. Tentu saja si Oom sudah menyiapkan seekor ikan kembung segar hasil curian
dari tukang sayur pagi tadi untuk disantap bersama Mama. Mama menurut saja
meski merasa aneh karena baru kali itu ia makan sesuatu yang mentah. Mama
terbiasa dengan kibbles yang disediakan oleh orang rumah. Tetapi demi
menyenangkan si Oom, Mama ikut menyantap ikan kembung mentah itu dengan lahap.
Setelah selesai makan mereka duduk santai sambil berbincang. Si Oom kemudian
mengajak Mama berkenalan dengan beberapa anggota geng.
Ada si Codet, wakil pemimpin yang paling dipercaya oleh si
Oom. Tubuhnya kurus dan tinggi menjulang. Meski wajahnya beringas, si Codet dikenal
sebagai flamboyan yang memiliki magnet untuk menaklukkan para betina. Anak-anak
si Codet tersebar di mana-mana. Entah berapa banyak betina yang berhasil ia
buahi. Semua anak-anak si Codet memiliki corak serupa dengan bapaknya: coreng
hitam di bagian hidungnya. Kemudian, ada si Uwak. Si Uwak adalah kucing tertua
di wilayah ini. Usianya sudah melampaui 5 tahun, rekor yang fenomenal untuk
ukuran kucing jalanan. Berbeda dengan kucing rumahan, kucing jalanan bukanlah
makhluk yang dapat bertahan hidup lama di jalanan. Semua kucing di wilayah ini
menaruh hormat pada Si Uwak. Konon, sebelum si Oom jadi pemimpin di sini,
Uwak-lah yang menguasai wilayah ini.
Suatu malam dulu, Oom, Codet, dan Uwak pergi untuk mencari
makan ke kampung belakang karena makanan di wilayah kami telah habis. Para
betina mulai gelisah sebab sudah 2 hari para tukang sayur tak sedikitpun
menyisakan potongan kepala ikan untuk disantap. Bayi-bayi mulai menangis
kelaparan. Oom, Codet, dan Uwak mempertaruhkan nyawa untuk bertarung dengan
kucing-kucing lain yang menguasai wilayah itu. Mereka berbagi tugas. Oom dan
Uwak bertempur melawan kucing-kucing yang berjaga. Tak tanggung-tanggung,
mereka melawan 6 ekor kucing liar yang buas sekaligus.
Codet mengendap-endap mencaplok 3 ekor ikan dari kolam yang
dipelihara warga di kampung belakang. Perkelahian berakhir meninggalkan luka
menganga di leher si Oom. Tetapi malam itu, seluruh keluarga besar Oom, Codet, dan
Uwak menyudahi masa paceklik dengan menyantap 3 ekor ikan beramai-ramai.
* * *
Malam itu Pipi belum pulang dari kantor. Aku kesal menunggu.
Aku mengajak Nek’Ayo untuk bermain tetapi ia tak mau. Nek’Ayo malah asik menonton
acara televisi. Aku makin kesal. Di televisi kulihat seekor cheetah mengendap-endap
di antara semak belukar, lalu bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Nek’Ayo
serius memperhatikan. Seekor terwelu berjalan. Kamera kembali menyorot cheetah
yang bersembunyi. Suasana hening. Kamera berganti menyorot terwelu yang masih
berada di tempat yang sama. Cheetah bersiap menerkam. Cakarnya mulai
terlihat. Terwelu kemudian awas. Ia merasa tengah diincar. Aku gelisah. Ingin membantu
cheetah ikut menerkam terwelu tetapi aku tak yakin. Tubuh terwelu itu bahkan
lebih besari dari tubuhku. Detik-detik berlalu seperti lama sekali. Aku makin gelisah.
Kedua cakarku ikut bersiaga untuk menerkam. Dalam sepersekian detik, Cheetah
melompat keluar dari persembunyian langsung menerkam terwelu.
Naluri nokturnalku sontak muncul. Aku melompat sekencang mungkin
ke arah televisi. Entah apa yang akan aku lakukan: ikut menerkam terwelu atau justru menyelamatkannya. Kudengar suara Nek’Ayo berteriak keras sekali. Dengan
kekuatan penuh, tubuhku menabrak televisi. Sepersekian detik kemudian, televisi
dan tubuhku terjun bebas ke lantai. Layarnya pecah.
* * *
Kudengar suara Pipi pulang dari kantor. Aku berlari mencari
tempat bersembunyi. Nek’Ayo tentu saja bergeming di atas sofa. Meski Pipi tak
menyaksikan, aku yakin Pipi tahu: yang menjatuhkan televisi itu adalah aku. Aku
takut bukan kepalang. Akhirnya aku mengeluarkan jurus jitu: pura-pura mati
tertimpa televisi.
Pipi menghela nafas sambil memanggil namaku. Tentu saja aku tak
menyahut, aku ‘kan sedang mati. Pipi memanggil namaku sekali lagi. Aku tetap diam.
Sepasang tangan meraih badanku dari arah belakang. Kiamat segera
tiba.
Pipi menghela nafas sekali lagi. Ia tak mengucap sepatah
katapun untuk memarahiku. Ia hanya menggendongku sambil menyapu dan membereskan
pecahan televisi, lalu menyiapkan makan malam kami. Aku makan dengan perasaan
bersalah. Malam itu, aku termenung di kasur, memeluk kaki Pipi, sambil memikirkan nasib terwelu yang gagal kuselamatkan.
~
Komentar
Posting Komentar