Nanggroe Aceh (Episode 1)

18 Desember 2013~

Saya lagi iseng ngobrol sama adik tentang banyak hal remeh temeh tetek bengek yang terjadi di hidup saya terutama di tahun-tahun belakangan hingga akhirnya dia bilang, "Ya udah, kamu pergi aja lagi. Gih. Sendirian. Kayak dulu waktu kamu ke... mana dulu itu...? Sumbawa? Gak usah pake tujuan mau ngapain, pokoknya pergi. Sejauh mungkin."

Saya menelan ludah.

"Selamanya?" tanya saya kaget.

"Ya enggaklah. Gimana sih? Keluargamu 'kan ada di sini.." jawab adik saya yang bikin saya tampak bodoh di depan dia. "Pergilah beberapa hari aja.."

Saya diam sesaat.

"Sendiri ya?" tanya saya memastikan, seperti nggak percaya bahwa saya dulu memang pernah melakukan perjalanan yang cukup jauh, sendirian (di usia saya yang saat itu masih tergolong belia, ehm...).

"Ya iyalah." katanya. "Gih sana tanya Mbah Google. Cari tempat yang aneh. Kemana kek. Ke Papua kek. Ke Pulau Weh kek. Semedi." Dia lalu tertawa. Saya cemberut.

* * *

18 Januari 2014~

Di depan pintu masuk Terminal Keberangkatan 1B Bandara Soekarno Hatta, saya diam sejenak. Nggak lama kemudian saya melangkah mundur, menjauhi detector area yang terletak tidak jauh dari tempat check-in. Langkah saya semakin menjauh dari pintu masuk. Tapi hari masih terlalu pagi untuk galau di tengah kerumunan orang.

Saya berdiri di pinggir jalan. Orang-orang semakin ramai berdatangan langsung masuk menuju tempat check-in masing-masing.

Saya membuka pesan di Whatsapp. Membaca ulang pesan Ayah 2 hari lalu.

Ya, saya baru berani minta ijin pada Ayah bahwa saya akan pergi ke Aceh, 2 hari sebelum berangkat. Kenapa begitu mendadak? Kenapa begitu ujug-ujug? Tanya Ayah. Entah apa yang ada di benak saya saat itu. Saya nggak berani minta ijin untuk bepergian sendiri. Sebab saya kini bukanlah saya yang dulu, yang suka iseng pergi merantau sendirian -yang bikin Ayah dulu bimbang mesti sedih atau bangga dengan keputusan saya.

Mau ngapain sih kamu ke sana? Sendirian ke Aceh, lalu ke Pulau Weh yang ada di paling ujung itu? Nggak. Ayah nggak kasih ijin.

Saya diam sesaat, kemudian mencoba menenangkan Ayah dengan mengalihkan topik pembicaraan: Ayah memangnya nggak pengen gitu cobain minum kopi yang paling enak sedunia? Kopi Aceh, Yah.. nanti Putti bawain khusus buat Ayah.

Butuh sekian jam bagi Ayah untuk membalas pesan saya: Dibanding Kopi Aceh, Ayah lebih ingin kamu pulang dengan selamat.

Belakangan saya baru tahu bahwa malam itu Ayah nggak bisa tidur. Ingin marah pada keputusan saya. Tapi kemudian Ayah juga tahu, jika Ayah marah, maka saya hanya akan bepergian dengan hati yang sedih. Dan gundah. Tentu saja Ayah ingin saya pergi dan menikmati perjalanan dengan baik. Pagi harinya selepas sholat Subuh, Ayah mengirimi saya setumpuk doa. Saya menitikkan airmata.

Saya menjawab, siapa suruh mewariskan nyali petualang Ayah ke anak perempuan Ayah ini?

18 Januari 2014 pukul 11.40 WIB adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Tanah Rencong, provinsi terujung di Indonesia belahan barat.

* * *

18 - 22 Januari 2014~

Terbangun sendirian di pagi hari, di sebuah tempat yang begitu asing, melahirkan perasaan yang aneh. Dan rumit. Itulah yang saya alami dulu. Lalu ketika saya mengalaminya lagi jauh bertahun-tahun kemudian, perasaan aneh itu muncul kembali, juga masih tetap rumit. Karenanya saya tetap nggak bisa menjelaskan pada siapapun, kenapa saya suka berada dalam perasaan aneh ini.

Saya bukan orang yang mahir menuliskan dengan baik dan tepat tentang sebuah perjalanan. Tentang apa yang saya lihat dalam sebuah perjalanan itu sendiri, yang kemudian saya abadikan melalui sebuah kamera digital. Barangkali karena bagi saya, alam itu sendiri sudah terlalu sempurna untuk saya umpamakan. Sebab alangkah terbatasnya kosa kata yang saya miliki.

Selama di Aceh, saya memiliki beberapa kenalan baru. Mbak Ayu yang memang ayu seperti namanya, seorang perempuan Aceh yang cukup fasih menceritakan adat dan budaya Aceh. Bang Zul, seorang yang pernah menjadi prajurit GAM dari Aceh Timur yang setia mengawal kami selama perjalanan di Aceh. Lalu Bang Irman, seorang yang mengenal setiap sudut Pulau Weh sebagaimana ia mengenal garis telapak tangannya sendiri. Ia selalu memiliki segudang cerita yang membuat kami tidak mengantuk karena asik menyimak.

Ada yang menarik perhatian setiap kali saya pergi jauh dari kampung halaman. Dulu sewaktu ke Sumbawa, bertemu dengan orang-orang yang berasal dari kampung halaman yang sama selalu bikin saya merasa kagum. Sebab, nggak seperti orang-orang yang berasal dari suku Minang, Tapanuli, atau Jawa, orang Sunda bukanlah orang-orang yang dikenal senang bepergian jauh. Merantau misalnya.

Dalam perjalanan menuju Pantai Anoi Itam di pesisir tenggara Pulau Weh tempat saya menginap, saya mampir ke rumah seorang pengrajin batok kelapa. Saya membeli beberapa kerajinan dalam bentuk gelang, cincin, magnet kulkas, dan gantungan kunci. Oleh-oleh yang standar.

Nggak ada yang terlalu istimewa dari kerajinan yang semuanya terbuat dari batok kelapa tersebut, sebab di setiap daerah pesisir pantai, kita akan banyak menjumpai pengrajin batok kelapa.

Saya membayar dan memberikan dua lembar uang lima puluh ribuan kepada ibu pemiliknya. Karena nggak ada kembalian, dia lalu memanggil suaminya, "Kang... Akang... ini ada pelanggan tapi nggak ada uang kembalian..."

Saya memicingkan mata, menegakkan daun telinga. Si Ibu memanggil suaminya dalam panggilan yang sangat akrab di telinga saya sehari-hari. Akang, panggilan untuk laki-laki yang lebih tua dalam suku Sunda. Lalu si Akang muncul, bicara dengan logat yang juga sangat akrab di telinga saya sehari-hari.

Karena terbawa oleh suasana, saya nimbrung, "Akang teh orang Sunda? Naha aya di dieu? Sim kuring ti Bandung..." (Akang orang Sunda? Kenapa bisa ada di sini? Saya ini dari Bandung...)

Si Akang: "Loh? Naha aya Eneng jauh-jauh kemari? Eneng darimana?" (Loh? Kenapa ada Neng jauh-jauh ke sini? Neng darimana?)

Kami pun berkenalan dalam suasana suka cita. Dia bercerita bahwa dia sudah belasan tahun merantau dari Tanah Sunda. Menikahi perempuan Aceh yang cantik lalu menetap di Pulau Weh sebagai satu-satunya pengrajin batok kelapa. Dia juga memiliki sebuah toko souvenir kecil di Pantai Iboih, pesisir utara Pulau Weh. Langganannya kebanyakan para pelancong bule yang sering datang untuk berlibur cukup lama di Pulau Weh.

Alih-alih membeli souvenir, Akang dan istrinya justru memaksa kami tinggal lebih lama. Kami pun disuguhi bakso ikan pisang-pisang buatan si Akang.

Rasanya, tentu saja nikmat.

* * *

22 Januari 2014~

To travel is to discover that everyone is wrong about other countries, barangkali adalah kutipan milik Aldous Huxley yang paling tepat untuk menggambarkan Aceh (yang tak lagi disebut Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 2009).

Selama berada di provinsi yang kerap disebut serambi Mekkah itu, saya nggak merasakan kengerian berlebihan yang sering diberitakan orang-orang dimana-mana. Penerapan Syariat Islam. Saya percaya saat itu saya beruntung, perjalanan saya lancar tanpa kendala. Sekalipun beragama Islam, saya memang belum mengenakan jilbab. Saya hanya mengikuti anjuran untuk menghargai diterapkannya Syariat Islam di sana: mengenakan pakaian yang sopan. Baju saya cuma baju sehari-hari yang juga biasa saya pakai di sini: celana panjang dan kaos. Biasa saja.

Sebab memang benar, penyimpangan pelaksanaan hukum selalu ada dimana-mana. Terutama yang bertingkah lebay. Beberapa polisi syariah yang berteriak-teriak dengan galak menggunakan toa dari mobil patroli. Seperti sedang menakut-nakuti.

Tapi itu tidak lebih menakutkan daripada polisi-polisi di Tanah Jawa yang juga sering lebay dan korup. Ya, korup.

* * *

24 Januari 2014~

"Teh makasih ya. Ini memang kopi paling nikmat yang pernah Ayah cicipi."

Sore ini indah sekali.

* * *

Dari Catatan Pendek
Jelajah Sumatera Episode 1
Aceh
18 - 22 Januari 2014


Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)