Opor Ayam

I miss waking up, at the late noon, to the sound of my mother's cooking, every Ramadan.

The smell of it, remains the same at my memory, through all the years.

Opor ayam buatan Ibu rahimahallah tampilannya cukup unik: warnanya pucat dan kuahnya cenderung encer (tidak berwarna kekuningan dan juga tidak kental seperti opor pada umumnya). Bertahun-tahun lamanya lidahku mengecap itu hingga akhirnya mengira tampilan opor ayam ya memang seperti itu. Pucat dan encer.

Cukup lama setelah Ibu meninggal, aku nggak pernah lagi menyicip opor ayam ala Ibu. Opor yang kutemui di aneka resep masakan dan di rumah-rumah orang lain selalu punya tampilan yang seperti ini: kekuningan, bersantan cukup kental, dan (tentunya) berminyak. Karena merasa kurang cocok dengan opor yang seperti itu, jadi aku memilih tak lagi memakan opor. Sekali waktu pernah aku berlebaran ke rumah Bi Wita (adik Ibu), kebetulan ia memasak opor ayam. Ternyata opor ayam bikinan Bi Wita tampilannya persis dengan opor ayam bikinan Ibu: pucat dan encer.

Karena penasaran, kemudian kutanya, kenapa opor ini berbeda dengan opor pada umumnya?

Ada dua alasan, kata Bi Wita waktu itu. Pertama. Bi Wita, Ibu rahimahallah, beserta sembilan kakak mereka terlahir dari keluarga miskin yang untuk makan saja harus dijatah. Bahkan dulu Nini jika memasak opor ayam di hari raya isinya hampir selalu ceker, leher, dan kepala ayam. Bagian-bagian yang disingkirkan oleh orang-orang kebanyakan, dan dipulung oleh orang-orang kekurangan namun ingin merasakan nikmatnya makan ayam. Ibu sekeluarga jarang sekali bisa menikmati opor dengan daging ayam dari bagian-bagian yang utuh. Tetapi justru bagian-bagian ayam semacam ceker, leher, dan kepala yang lebih banyak tulangnya daripada dagingnya, menghasilkan kaldu yang lebih gurih. Karena rasanya sudah gurih, maka santannya pun hanya seadanya, tak perlu kental. Kata Bi Wita, Nini dulu selalu membeli santan perahan kedua yang encer dan dijual lebih murah oleh pedagang-pedagang di pasar. Ya dulu Nini hanya sanggup membeli itu. Lalu jadilah opor ayam ala Nini, yang kemudian diturunkan pada anak-anak perempuannya, salah satunya Ibu.

Kedua. Orang Sunda pada dasarnya bukanlah orang-orang yang gemar mengolah masakan bersantan. Secara geografis, Tanah Sunda berada di dataran-dataran tinggi sehingga tanahnya cenderung subur dan karenanya sayur mayur segar tumbuh dengan mudah di mana-mana. Itulah kenapa orang Sunda gemar memakan sayur mentah, yang tanpa perlu diolah pun rasanya sudah garing dan manis. Seingat saya, nggak ada resep masakan khas Sunda yang diolah menggunakan santan kental dan dimasak hingga berjam-jam lamanya. Keterbiasaan orang Sunda zaman dulu itu kemudian diturunkan hingga diwariskan pada anak cucu cicit dan canggah mereka. Memang tak semua. Namun kebanyakan ya begitu.

* * *

Pada umumnya, lidah seorang anak akan selalu terkenang dengan masakan ibunya. Masakan seorang ibu adalah cinta pertama bagi setiap anak. Kelak, ketika Ibu telah menikah dengan Ayah dan memiliki kehidupan yang lebih baik, Ibu tetap memasak opor ayam ala Nini: pucat dan encer, namun tentu saja rasanya gurih dan sangat disukai sehingga selalu dirindukan oleh kami sekeluarga, terutama Ayah.

Seperti sore ini.
Merindukan Ibu. Dan opor ayamnya.

Jakarta, 23 Mei 2020
(Sehari menjelang Hari Raya Idul Fitri.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)