Nokturnal [Catatan Harian Minki-ya]

Aku pernah bertanya pada Mama Ting Ting mengapa setiap kali Mama bertemu si Oom selalu di malam hari?
 
Mama bercerita, dahulu, jauh sebelum domestikasi terjadi, kucing sebagai karnivora murni adalah makhluk yang aktif di malam hari untuk mencari mangsa. Di siang hari kegiatan kami hanyalah tidur. Seperti juga kelelawar, musang, dan sedikit makhluk nokturnal lainnya, mata kami memiliki selaput ekstra bernama tapetum lucidium yang terletak persis di belakang retina, terdiri dari lapisan-lapisan membran yang membantu kami untuk beradaptasi dengan kondisi gelap. Di dalam membran-membran itu terdapat sel-sel yang memantulkan cahaya. Itulah sebabnya mengapa kalian sering melihat mata kami menyala dalam kegelapan. Karena Mama keturunan siamese, warna yang menyala pada mata Mama adalah merah berkilau persis batu permata ruby.
 
Suatu malam, Mama pernah diajak si Oom pergi berkeliling wilayah kekuasaannya. Si Oom ingin memamerkan kekasih hatinya sekaligus memberikan kode: cewek cantik di rumah itu adalah milik aku! Jangan pernah kalian berani mendekatinya. Mama merasa bangga. Seperti dugaan Mama, si Oom tidak sedikitpun membiarkan Mama kelaparan malam itu. Tentu saja si Oom sudah menyiapkan seekor ikan kembung segar hasil curian dari tukang sayur pagi tadi untuk disantap bersama Mama. Mama menurut saja meski merasa aneh karena baru kali itu ia makan sesuatu yang mentah. Mama terbiasa dengan kibbles yang disediakan oleh orang rumah. Tetapi demi menyenangkan si Oom, Mama ikut menyantap ikan kembung mentah itu dengan lahap. Setelah selesai makan mereka duduk santai sambil berbincang. Si Oom kemudian mengajak Mama berkenalan dengan beberapa anggota geng.
 
Ada si Codet, wakil pemimpin yang paling dipercaya oleh si Oom. Tubuhnya kurus dan tinggi menjulang. Meski wajahnya beringas, si Codet dikenal sebagai flamboyan yang memiliki magnet untuk menaklukkan para betina. Anak-anak si Codet tersebar di mana-mana. Entah berapa banyak betina yang berhasil ia buahi. Semua anak-anak si Codet memiliki corak serupa dengan bapaknya: coreng hitam di bagian hidungnya. Kemudian, ada si Uwak. Si Uwak adalah kucing tertua di wilayah ini. Usianya sudah melampaui 5 tahun, rekor yang fenomenal untuk ukuran kucing jalanan. Berbeda dengan kucing rumahan, kucing jalanan bukanlah makhluk yang dapat bertahan hidup lama di jalanan. Semua kucing di wilayah ini menaruh hormat pada Si Uwak. Konon, sebelum si Oom jadi pemimpin di sini, Uwak-lah yang menguasai wilayah ini.
 
Suatu malam dulu, Oom, Codet, dan Uwak pergi untuk mencari makan ke kampung belakang karena makanan di wilayah kami telah habis. Para betina mulai gelisah sebab sudah 2 hari para tukang sayur tak sedikitpun menyisakan potongan kepala ikan untuk disantap. Bayi-bayi mulai menangis kelaparan. Oom, Codet, dan Uwak mempertaruhkan nyawa untuk bertarung dengan kucing-kucing lain yang menguasai wilayah itu. Mereka berbagi tugas. Oom dan Uwak bertempur melawan kucing-kucing yang berjaga. Tak tanggung-tanggung, mereka melawan 6 ekor kucing liar yang buas sekaligus.
 
Codet mengendap-endap mencaplok 3 ekor ikan dari kolam yang dipelihara warga di kampung belakang. Perkelahian berakhir meninggalkan luka menganga di leher si Oom. Tetapi malam itu, seluruh keluarga besar Oom, Codet, dan Uwak menyudahi masa paceklik dengan menyantap 3 ekor ikan beramai-ramai.
 
* * *
 
Malam itu Pipi belum pulang dari kantor. Aku kesal menunggu. Aku mengajak Nek’Ayo untuk bermain tetapi ia tak mau. Nek’Ayo malah asik menonton acara televisi. Aku makin kesal. Di televisi kulihat seekor cheetah mengendap-endap di antara semak belukar, lalu bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Nek’Ayo serius memperhatikan. Seekor terwelu berjalan. Kamera kembali menyorot cheetah yang bersembunyi. Suasana hening. Kamera berganti menyorot terwelu yang masih berada di tempat yang sama. Cheetah bersiap menerkam. Cakarnya mulai terlihat. Terwelu kemudian awas. Ia merasa tengah diincar. Aku gelisah. Ingin membantu cheetah ikut menerkam terwelu tetapi aku tak yakin. Tubuh terwelu itu bahkan lebih besari dari tubuhku. Detik-detik berlalu seperti lama sekali. Aku makin gelisah. Kedua cakarku ikut bersiaga untuk menerkam. Dalam sepersekian detik, Cheetah melompat keluar dari persembunyian langsung menerkam terwelu.
 
Naluri nokturnalku sontak muncul. Aku melompat sekencang mungkin ke arah televisi. Entah apa yang akan aku lakukan: ikut menerkam terwelu atau justru menyelamatkannya. Kudengar suara Nek’Ayo berteriak keras sekali. Dengan kekuatan penuh, tubuhku menabrak televisi. Sepersekian detik kemudian, televisi dan tubuhku terjun bebas ke lantai. Layarnya pecah.
 
* * *
 
Kudengar suara Pipi pulang dari kantor. Aku berlari mencari tempat bersembunyi. Nek’Ayo tentu saja bergeming di atas sofa. Meski Pipi tak menyaksikan, aku yakin Pipi tahu: yang menjatuhkan televisi itu adalah aku. Aku takut bukan kepalang. Akhirnya aku mengeluarkan jurus jitu: pura-pura mati tertimpa televisi.
 
Pipi menghela nafas sambil memanggil namaku. Tentu saja aku tak menyahut, aku ‘kan sedang mati. Pipi memanggil namaku sekali lagi. Aku tetap diam. Sepasang tangan meraih badanku dari arah belakang. Kiamat segera tiba. 
 
Pipi menghela nafas sekali lagi. Ia tak mengucap sepatah katapun untuk memarahiku. Ia hanya menggendongku sambil menyapu dan membereskan pecahan televisi, lalu menyiapkan makan malam kami. Aku makan dengan perasaan bersalah. Malam itu, aku termenung di kasur, memeluk kaki Pipi, sambil memikirkan nasib terwelu yang gagal kuselamatkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)