Ling Ling dan Upik Abu
Suatu hari sepulang dari pasar, Ibu membawa seekor kucing di mobil. Pemandangan seperti itu sudah biasa bagi kami, anak-anaknya. Ibu ini seperti ibu asuh bagi bayi-bayi kucing yang terlantar di pasar, di jalanan, di manapun. Bahkan beberapa kali Ibu sengaja membeli kucing dari tukang serabutan di pinggir jalan. Lalu kucing-kucing itu dibawa pulang untuk dicintai, diasuh, dan diberi makan selayaknya anak-anaknya sendiri.
Kali itu kucing yang Ibu bawa pulang sebenarnya sudah melewati usia remaja. Setahun enam bulan usianya, kira-kira. Yang bikin Ibu tertarik membawanya pulang adalah karena ia berwarna hitam dan putih seperti seekor Panda Cina dengan bulatan hitam pada kedua matanya. Sekalipun ia kucing lokal, tapi wajahnya lucu. Cantik, kata Ibu dulu. Kucing itu kemudian Ibu namakan Ling Ling.
Ling Ling ini kelakuannya persis seperti perawan desa. Dia amat penurut dan nggak banyak menuntut. Mengajarinya buang air bukan perkara sulit sebab dia begitu apik. Kesenangannya cuma ini: mandi lalu bermanja-manja di pangkuan Ibu hingga tertidur di sana.
Nggak sampai sebulan kemudian, juga sepulang dari pasar, Ibu lagi-lagi membawa seekor kucing di mobil. Kali itu Ibu agak kerepotan sebab kucingnya sangat lincah. Ia berwarna abu-abu polos persis seperti abu gosok, warna yang langka untuk seekor kucing lokal. Kucing itu kemudian Ibu namakan Upik Abu. Haha, entah kenapa, padahal ini kucing jantan.
Ibu sang godmother of stray cats, mencoba mengenalkan Ling Ling pada Upik Abu. Tapi kali itu saya melihat ada perasaan was-was di wajah Ibu sebab Upik Abu (yang usianya barangkali baru sekitar 5-6 bulan) ternyata adalah semacam kucing abege cowok yang sedang kumincir dan nakalnya setengah mati. Nggak bisa diam. Seperti seekor kodok yang terperangkap di dalam tubuh seekor kucing.
Ketika mereka—Ling Ling dan Upik Abu—saling bertatap mata untuk yang pertama kalinya, saya melihat Ling Ling seperti terbius melihat tingkah Upik Abu yang langsung belingsatan, melompat ke sana ke mari.
Lalu sejak itu untuk beberapa waktu lamanya mereka menjadi dekat dan semakin dekat. Di mana ada Upik Abu, di situ ada Ling Ling.
Upik Abu yang tahu betul begitu dipuja Ling Ling, tingkahnya semakin hari semakin kelewatan hingga Ibu mulai sering merasa dongkol. Hampir seluruh barang di rumah dia acak-acak termasuk seisi dapur, juga kotak kaleng berisi peralatan menjahit dan menyulam milik Ibu. Gulungan-gulungan benang semuanya dibuat berantakan: kusut dan terikat satu sama lain. Gorden mulai sobek dari pangkal hingga ke bawah, di setiap sisi, karena selalu digunakan sebagai ajang caper oleh Upik Abu di hadapan Ling Ling: main perosotan sambil akrobat berulang-ulang. Segala macam makanan mulai sering mendadak hilang di meja makan dicomot oleh Upik Abu, sesuatu yang nggak pernah berani dilakukan oleh kucing-kucing kami sebelumnya. Lalu yang paling parah, Upik Abu suka sekali jumpalitan di atas tumpukan abu gosoknya sendiri (tempatnya untuk buang kotoran, dulu belum ada pasir zeolit sehingga kami pakai abu gosok), lalu tumpah ke mana-mana.
* * *
Hari itu selepas kuliah pagi, saya dan teman-teman makan siang di kantin kampus. Tiba-tiba saya melihat ada penampakan Upik Abu di antara gerobak penjual makanan. Saya kaget. Seingat saya tadi pagi Upik Abu masih ada di rumah. Apakah ini kembarannya? Saya mencoba meyakinkan dengan memanggil namanya. Ternyata dia nengok. Dia mengenali suara dan wajah saya. Kami saling bertatap mata sekian detik. Ketika saya mencoba mendekat dan mengulurkan tangan, dia membuang muka lalu berlari menjauh. Sebelum menghilang, dia sempat menengok ke arah saya dengan tatapan benci.
Oh Upik Abu.. :'(
Saya bergegas pulang ke rumah. Ketika mendapati hanya ada Ling Ling sendirian, saya langsung memberondongi Ibu.
"Ibu buang Upik Abu ya? Ibu nyuruh Teh Ama buang Upik Abu? Ibu mau tahu Teh Ama buang ke mana? Ke Unpar! Putti ketemu tadi siang di kantin Unpar! Ibu nggak nyuruh Putti karena Ibu tahu Putti nggak akan mau buang Upik Abu, iya kan? Ibu... jahat!" kataku bertubi-tubi.
Ibu diam saja. Di pangkuannya terhampar gorden-gorden yang telah koyak. Seluruh gorden di rumah kami.
* * *
Sudah 2 hari Ling Ling mengurung diri di dalam gudang di rumah kami, nggak mau minum apalagi makan. Ketika Ibu menyadari, Ibu sangat menyesal sebab Ibu tahu Ling Ling marah pada Ibu. Segala bujuk rayu Ibu lakukan agar Ling Ling mau menyentuh makanannya. Bahkan Ibu membawa pulang lagi seekor kucing lain untuk menemani Ling Ling. Tapi apapun ternyata nggak sanggup menawar kecewa di hati Ling Ling.
Disuapi makan dan minum pun ia menolak. Ia bersikukuh mogok makan dan mogok minum, hanya berdiam diri, terduduk di nampan bambu di dalam gudang di rumah kami. Seminggu kemudian Ling Ling mati.
* * *
Cinta, barangkali memang benar, adalah sesuatu yang kekal jika jatuh pada sepasang kekasih yang tepat, betapapun singkatnya waktu kebersamaan mereka.
:')
Bandung, 28 November 2013.
Kali itu kucing yang Ibu bawa pulang sebenarnya sudah melewati usia remaja. Setahun enam bulan usianya, kira-kira. Yang bikin Ibu tertarik membawanya pulang adalah karena ia berwarna hitam dan putih seperti seekor Panda Cina dengan bulatan hitam pada kedua matanya. Sekalipun ia kucing lokal, tapi wajahnya lucu. Cantik, kata Ibu dulu. Kucing itu kemudian Ibu namakan Ling Ling.
Ling Ling ini kelakuannya persis seperti perawan desa. Dia amat penurut dan nggak banyak menuntut. Mengajarinya buang air bukan perkara sulit sebab dia begitu apik. Kesenangannya cuma ini: mandi lalu bermanja-manja di pangkuan Ibu hingga tertidur di sana.
Nggak sampai sebulan kemudian, juga sepulang dari pasar, Ibu lagi-lagi membawa seekor kucing di mobil. Kali itu Ibu agak kerepotan sebab kucingnya sangat lincah. Ia berwarna abu-abu polos persis seperti abu gosok, warna yang langka untuk seekor kucing lokal. Kucing itu kemudian Ibu namakan Upik Abu. Haha, entah kenapa, padahal ini kucing jantan.
Ibu sang godmother of stray cats, mencoba mengenalkan Ling Ling pada Upik Abu. Tapi kali itu saya melihat ada perasaan was-was di wajah Ibu sebab Upik Abu (yang usianya barangkali baru sekitar 5-6 bulan) ternyata adalah semacam kucing abege cowok yang sedang kumincir dan nakalnya setengah mati. Nggak bisa diam. Seperti seekor kodok yang terperangkap di dalam tubuh seekor kucing.
Ketika mereka—Ling Ling dan Upik Abu—saling bertatap mata untuk yang pertama kalinya, saya melihat Ling Ling seperti terbius melihat tingkah Upik Abu yang langsung belingsatan, melompat ke sana ke mari.
Lalu sejak itu untuk beberapa waktu lamanya mereka menjadi dekat dan semakin dekat. Di mana ada Upik Abu, di situ ada Ling Ling.
Upik Abu yang tahu betul begitu dipuja Ling Ling, tingkahnya semakin hari semakin kelewatan hingga Ibu mulai sering merasa dongkol. Hampir seluruh barang di rumah dia acak-acak termasuk seisi dapur, juga kotak kaleng berisi peralatan menjahit dan menyulam milik Ibu. Gulungan-gulungan benang semuanya dibuat berantakan: kusut dan terikat satu sama lain. Gorden mulai sobek dari pangkal hingga ke bawah, di setiap sisi, karena selalu digunakan sebagai ajang caper oleh Upik Abu di hadapan Ling Ling: main perosotan sambil akrobat berulang-ulang. Segala macam makanan mulai sering mendadak hilang di meja makan dicomot oleh Upik Abu, sesuatu yang nggak pernah berani dilakukan oleh kucing-kucing kami sebelumnya. Lalu yang paling parah, Upik Abu suka sekali jumpalitan di atas tumpukan abu gosoknya sendiri (tempatnya untuk buang kotoran, dulu belum ada pasir zeolit sehingga kami pakai abu gosok), lalu tumpah ke mana-mana.
* * *
Hari itu selepas kuliah pagi, saya dan teman-teman makan siang di kantin kampus. Tiba-tiba saya melihat ada penampakan Upik Abu di antara gerobak penjual makanan. Saya kaget. Seingat saya tadi pagi Upik Abu masih ada di rumah. Apakah ini kembarannya? Saya mencoba meyakinkan dengan memanggil namanya. Ternyata dia nengok. Dia mengenali suara dan wajah saya. Kami saling bertatap mata sekian detik. Ketika saya mencoba mendekat dan mengulurkan tangan, dia membuang muka lalu berlari menjauh. Sebelum menghilang, dia sempat menengok ke arah saya dengan tatapan benci.
Oh Upik Abu.. :'(
Saya bergegas pulang ke rumah. Ketika mendapati hanya ada Ling Ling sendirian, saya langsung memberondongi Ibu.
"Ibu buang Upik Abu ya? Ibu nyuruh Teh Ama buang Upik Abu? Ibu mau tahu Teh Ama buang ke mana? Ke Unpar! Putti ketemu tadi siang di kantin Unpar! Ibu nggak nyuruh Putti karena Ibu tahu Putti nggak akan mau buang Upik Abu, iya kan? Ibu... jahat!" kataku bertubi-tubi.
Ibu diam saja. Di pangkuannya terhampar gorden-gorden yang telah koyak. Seluruh gorden di rumah kami.
* * *
Sudah 2 hari Ling Ling mengurung diri di dalam gudang di rumah kami, nggak mau minum apalagi makan. Ketika Ibu menyadari, Ibu sangat menyesal sebab Ibu tahu Ling Ling marah pada Ibu. Segala bujuk rayu Ibu lakukan agar Ling Ling mau menyentuh makanannya. Bahkan Ibu membawa pulang lagi seekor kucing lain untuk menemani Ling Ling. Tapi apapun ternyata nggak sanggup menawar kecewa di hati Ling Ling.
Disuapi makan dan minum pun ia menolak. Ia bersikukuh mogok makan dan mogok minum, hanya berdiam diri, terduduk di nampan bambu di dalam gudang di rumah kami. Seminggu kemudian Ling Ling mati.
* * *
Cinta, barangkali memang benar, adalah sesuatu yang kekal jika jatuh pada sepasang kekasih yang tepat, betapapun singkatnya waktu kebersamaan mereka.
:')
Bandung, 28 November 2013.