Yang (Tidak) Terlupakan (Dari Sebuah Catatan Panjang, Bagian 5)

Ada banyak orang yang saya kenal selama tinggal dan bekerja di Tongoloka, yang hingga kini hidup di dalam ingatan saya.

Pertama, ialah Pak Ade. Seorang Mandor yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat. Dialah orang yang pertama kali memanggil saya "Neng" dan seluruh penghuni Tongoloka kemudian ikut memanggil saya "Neng" termasuk bule-bule yang cukup kesulitan melafalkan huruf "ng" di akhir kata tanpa menyembunyikan "j" di ujung lidahnya. Melalui Pak Ade inilah saya bisa akrab dengan hampir seluruh pekerja di Tongoloka. Mereka sangat menghargai saya, pun sebaliknya.

Kemudian, ialah Pak Abidin. Pak Abidin bekerja sebagai tenaga administrasi bagian SDM. Dia orang lokal. Berdarah Sumbawa yang menikahi seseorang dari tanah Sunda dan memiliki empat putri yang cantik-cantik. Dari Pak Abidin lah saya mengetahui banyak tentang Tau Samawa dan memupus sekian mitos buruk yang sempat saya dengar sebelumnya, termasuk kenyataan bahwa kuda liar Sumbawa tidaklah seliar yang saya bayangkan. Kuda-kuda itu hidup selayaknya hewan ternak liar lainnya.

Kemudian, ialah Diana Luxiyanti, perempuan Sasak yang manis yang hingga kini menjadi sahabat saya dan membantu saya mengingat beberapa detil dari cerita tentang Batu Hijau, setiap kali saya menulis di blog ini. Kadang beberapa bagian memang terlupakan oleh saya, tanpa sengaja ^^. Diana termasuk salah satu pekerja yang diakuisisi oleh Newmont. Kami masih bertemu sesekali.

Kemudian, ialah Jason Sebastian Curtis, seorang bule kocak tapi ganteng asal Australia yang nggak pernah merasa risih untuk duduk bareng dengan kami, orang-orang pribumi. Dia bergelar Civil Engineer namun memiliki cara pendekatan yang tak berjarak pada orang pribumi sehingga siapapun bisa leluasa untuk bercanda dengannya.

Kemudian, ialah Imam, seorang anak muda yang bekerja di Batu Hijau dengan mendaftar sebagai driver. Kecerdasan dan ketampanannya membuat beberapa dari kami merasa bingung, kenapa dia mau bekerja sebagai driver di proyek ini.

Suatu hari pada kami ia berkata, ia tidak memiliki banyak pengalaman bekerja, selalu serabutan dari satu proyek ke proyek lain dalam waktu yang relatif pendek. Kutanya, kenapa seperti itu? Imam tidak menjawab sepatah katapun.

Belakangan kami tahu, ia adalah seorang anak yang tidak sempat mengenal siapa ayahnya. Tanpa pernah menamatkan bangku SMA, ia bekerja serabutan di berbagai proyek hanya untuk mencari jejak ayahnya berdasarkan informasi yang sangat minim. Suatu hari, sebulan sebelum Imam berada di proyek ini, seorang bapak-bapak menegurnya dan bilang, "Apakah kamu putra Pak Imam, wajahmu sangat mirip." Kemudian Imam dan bapak itu saling mencocokkan informasi. Berdasarkan keterangan bapak itu, Pak Imam, ayahnya Imam, bekerja di salah satu di proyek di Batu Hijau. Karena itulah Imam kemudian berada di Tongoloka.

Pak Ade sempat bilang padanya, kenapa kamu nggak sekolah yang benar lalu bekerja yang benar? Setelah punya uang cukup, kamu bisa cari ayahmu dimanapun. Imam cuma terdiam, katanya.

Sebulan kemudian dia menghilang lagi, entah kemana. Kami tidak pernah tahu adakah Imam berhasil menemukan ayahnya atau tidak.

* * *

Kemudian yang terakhir, seseorang yang nggak akan saya sebut namanya -demi kemaslahatan umat- (hahaha!) ialah seseorang yang saya panggil dengan sebutan Abang.

Saya bertemu dia ketika kami sama-sama berangkat menuju Batu Hijau, waktu itu saya kembali dari field break yang ketiga, sedangkan dia baru pertama kalinya menuju Batu Hijau. Kami belum saling mengenal.

Baiklah, saya ceritakan dulu seperti apa perjalanan menuju Batu Hijau itu...

Perjalanan menuju Batu Hijau memakan hampir separuh hidupmu. Di hari itu. Tepatnya seperti ini:
- 2 jam perjalanan dari rumah menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta di Cengkareng (saya biasa naik Bis Damri khusus bandara, kecuali kalau bangun kesiangan ya naik taksi atau diantar Ayah).
- 2 jam perjalanan naik pesawat Cengkareng - Mataram (Ampenan), Lombok.
- 1,5 jam perjalanan dari Mataram (menggunakan bis yang disediakan oleh Newmont dari Kantor Newmont di Mataram) ke pelabuhan khusus pekerja Batu Hijau Project yang terletak di Lombok Timur.
- 2 jam perjalanan laut menyeberang Selat Alas menggunakan tugboat Abeer 19 menuju Pulau Sumbawa dan tiba di pelabuhan Benete. Benete Port.
- 1.5 jam perjalanan naik mobil 4WD dari Benete Port menyusuri hutan terjal menuju Tongoloka.

Begitu tiba di Tongoloka, kita perlu mengabsen anggota badan satu per satu takut-takut ada yang tertinggal di tengah perjalanan.

Tugboat Abeer 19 adalah kapal kecil yang bentuknya mengingatkan kita pada mainan anak-anak tempo dulu: perahu klotok ^^. Ia mampu mengangkut sekitar 40 penumpang (duduk di dalam kabin atau berdiri di buritan, bagian belakang kapal). Karena ukurannya kecil, menaiki tugboat ini sangat mudah terombang-ambing ombak lautan dan membuat isi perut rasanya ingin keluar semua.

Kali itu saya benar-benar nggak kuat menahan mabuk laut lalu muntah di kantong plastik dan beberapa detik kemudian pingsan. Untungnya yang duduk di samping saya waktu itu adalah seorang tenaga paramedis dari International SOS yang baru kembali dari field break, dan seorang laki-laki yang belum pernah saya temui sebelumnya. Ketika sadar, saya terbangun di Emergency Room di Rumah Sakit International SOS di Benete.

Laki-laki yang di tugboat tadi duduk di sebelah saya, kemudian terlihat duduk di kursi, menunggui saya. Dialah yang kemudian saya panggil Abang.

Saya termasuk generasi terakhir pengguna tugboat Abeer 19 karena tidak lama setelah itu, Newmont mengganti transportasi laut mereka dengan membeli sebuah kapal baru yang besarnya 6 kali lipat dari tugboat Abeer 19, sanggup mengangkut sekitar 200 penumpang, dan tentunya melaju lebih cepat, hanya 1 jam perjalanan.

* * *

Seperti yang saya tulis pada cerita sebelumnya, berpacaran di proyek bukanlah hal yang mudah selayaknya berpacaran di kota-kota besar. Abang memang rajin mengunjungi saya, hampir setiap malam, kadang membawakan buah yang ia dapat dari mess-hall yang juga tempat saya makan, kadang membawakan sebatang cokelat yang ia beli dari sebuah toko kecil di Maluk.

Namun cara kami berpacaran membuat saya merasa jadi semacam putri mahkota sebuah kerajaan: saya dan Abang duduk di teras depan rumah, bersama dengan petugas sekuriti sebagai bodyguard :))))

Postingan populer dari blog ini

Nirvana In Fire 2: The Wind Blows In Changlin (2017)

Misteri Arak Cina

Perempuan-Perempuan Proyek (Dari Sebuah Catatan Panjang, Bagian 3)