Obituari Pertama [Catatan Harian Minki-ya]

Kisah sebelumnya: 

Aku adalah anak tengah dari 5 bersaudara. Si sulung bernama Brownie atau dipanggil Oni. Ia jantan yang perawakannya sangat mirip dengan bapakku. Oni diadopsi oleh salah satu pekerja dari kakaknya si Pipi. Kemudian aku dan Mocca. Kami berdua betina yang kembar serupa. Mocca diadopsi oleh sahabat dari kakaknya si Pipi, Teh Agatha. Kemudian ada Felix dan Chiku-ya. Oni, aku, Mocca semua mewarisi warna kucing siam yang didominasi kecokelatan di seluruh tubuh kami, sedangkan Felix dan Chiku-ya mewarisi warna bapakku: hitam pekat dan putih. Felix dan Chiku-ya kemudian diadopsi oleh karyawan dari sahabatnya si Pipi, Neng.

Dari kami berlima, yang paling nakal adalah aku. Tak seperti Mocca yang manis dan anggun, aku kecil adalah penjelajah dan penyuka tantangan meski seringkali berakhir dalam kekacauan. Sewaktu kecil, orang-orang menyebutku anak setan, saking nakalnya. Aku paling senang memanjat pintu teralis dan kabur ke luar. Aku jugalah yang paling sering membuat kekacauan di ruang makan, menumpahkan gelas, kuah sop, hingga berceceran di mana-mana. Dan yang paling menyenangkan adalah menumpahkan air, teh, dan bubuk kopi. Aku menyulap lantai ruang makan menjadi sebuah arena permainan seluncuran. Aku memanggil semua saudaraku untuk bermain peleset-pelesetan sambil melumuri tubuh kami dengan kopi. Dalam sekejap, warna tubuh kami berubah menjadi hitam. Haha! Menyenangkan, bukan?

“Hey, Minki! Kamu ini anak perempuan. Kelak akan menjadi gadis. Masa kelakuanmu persis anak laki-laki?” begitu Mama Ting Ting selalu berteriak. Aku tentu saja tak peduli. Kadang aku meminta kakakku, Kak Ijun, untuk mengajariku berkelahi. Aku ingin seperti bapakku yang sanggup memenangkan seluruh pertarungan maut.

Ya, sebelum kami berlima lahir, ada kakak kami bernama Junior atau Kak Ijun. Kak Ijun bukanlah anak si Oom, bapakku, melainkan anak dari Mas Baron. Eh, ngomong-ngomong, kalian mengerti 'kan bahwa kami adalah makhluk poliamori. Kapan-kapan kujelaskan ya mengenai itu. Kembali pada kisah kakakku, ia dinamai Junior karena warna dan corak bulunya memang sangat mirip dengan Mas Baron. Mas Baron ini kucing yang dipelihara oleh ayahnya si Pipi. Ia keturunan ras maine coon yang tersohor dengan posturnya yang tinggi besar serta bulunya yang lebat dan panjang. Kadang aku bertanya-tanya seperti apa sih rasanya jadi turunan kucing ras terkenal dan dipuja-puji oleh begitu banyak manusia di seantero dunia?

Mama Ting Ting dijodohkan dengan Mas Baron. Tetapi, dasar Mama, ia menolak sejadi-jadinya. Kalian–para manusia–mungkin akan mengira bahwa kucing adalah makhluk yang bisa diatur sesuka hati kalian ’kan? Kucing yang ini harus kawin dengan kucing yang ini biar nanti anak-anaknya lucu, jangan kawin dengan kucing yang itu nanti anak-anaknya nggak lucu. Wahai kalian–para manusia–yang senang mementingkan apa yang kalian sukai saja, ketahuilah, kami pun mengenal konsep cinta dan rasa nyaman. Mama menolak dijodohkan karena Mama tak begitu mencintai Mas Baron. Suatu hari ketika aku telah cukup dewasa, Mama bercerita bahwa bagi Mama, Mas Baron terlalu dimanja sehingga tak pernah tahu sulitnya mencari makan sendiri di luar sana, tak memiliki luka carut bekas perkelahian, tak merasakan buasnya dunia pertarungan antar kucing untuk menguasai wilayah, atau bahkan hanya sekadar menjadi anggota geng: para ponggawa–wakil sang pemimpin–yang turut bertugas mengamankan wilayah yang dikuasai sang pemimpin.

Sebab itulah, Mama sulit jatuh hati pada Mas Baron. Mas Baron bukannya tak tahu bahwa Mama sangat kepincut sama si Oom. Di malam hari, Mama kadang pergi mengendap-endap, diam-diam menyelinap ke luar rumah hanya untuk bertemu si Oom, dan baru pulang keesokan paginya. Sekali waktu Mas Baron memergoki Mama pulang sehabis keluyuran lalu dipukuli habis-habisan. Tentu saja itu karena Mas Baron terbakar oleh perasaan cemburu. Mama pun menangis tersedu-sedu.

Suatu hari Mama hamil. Mas Baron kegirangan. Selama hamil, Mama berubah menjadi pemalas dan tak pernah pergi ke mana-mana. Itulah masa di mana Mas Baron dan Mama tak pernah bertengkar. Mendekati waktu melahirkan, Mas Baron mencarikan tempat yang aman bagi Mama, yaitu di salah satu sudut lemari pakaian. Mas Baron sibuk mengatur tumpukan kain agar Mama bisa berbaring dengan nyaman. Ia pula yang berjaga-jaga di sekitar lemari dan memberikan kode pada seluruh makhluk hidup di muka bumi agar tidak mengganggu Mama. Melihat perlakuan Mas Baron yang berlebihan, Mama bukannya senang, melainkan was-was.

Lalu tibalah waktu melahirkan. Mas Baron memperhatikan satu per satu bayi yang keluar dari rahim Mama. Cokelat. Cokelat. Cokelat. Hitam pekat dan putih. Lagi, hitam pekat dan putih. Selesai. Dari lima bayi itu, tak ada satupun yang menyerupai dirinya.

Mama hanya terdiam kelelahan. Mas Baron, yang semula begitu bersemangat menyambut kelahiran, berubah menjadi sangat berang dan pergi begitu saja meninggalkan Mama tanpa sepatah katapun. Ia tahu, mereka berlima bukanlah anak-anaknya.

Sejak itulah hubungan mereka tak lagi harmonis.

Namun demikian, meski berbeda keturunan, Kak Ijun sangat menyayangi kami berlima, begitu pula sebaliknya. Setiap hari Kak Ijun mengajari adik-adiknya yang masih mungil ini untuk mandi dan buang air di litter box. Menginjak usia 8 bulan di mana seharusnya ia mulai merasakan birahi dan minta kawin seperti layaknya kucing lain, Kak Ijun justru lebih senang mengasuh kami, mengajari bagaimana caranya mencuri tahu goreng atau ati ampela dari meja makan. Rasanya sedap sekali. Oh, Kak Ijun juga mengajari kami cara berkelahi. Menginjak usia 1 tahun ia mulai menunjukkan gejala lumpuh di kaki belakang, yang kemudian disusul dengan kehilangan bladder control. Kak Ijun sudah dibawa ke beberapa vet tetapi tak dapat disembuhkan. Tak lama dari situ, Kak Ijun pergi untuk selama-lamanya. Kak Ijun diduga terkena pyelonephritis yang mengakibatkan gagal ginjal kronis. Berita kematian Kak Ijun adalah serupa obituari yang pertama bagiku.

Dan, itulah untuk pertama kalinya aku menangis sejadi-jadinya.

~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)