Perkenalan Kami [Catatan Harian Minki-ya]

Aku bertemu Pipi–aku memanggilnya Pipi, my hooman, sebab seluruh keluarganya memanggilnya Pipi–pertama kali ketika ia mengadopsiku saat usiaku 4 bulan. Sebelum itu, aku diasuh oleh adiknya Pipi. Ibuku–dinamai Ting Ting–adalah seekor kucing domestik keturunan ras siamese yang penampakannya lebih menyerupai tabby cat. Bapakku, hmm jangankan ras, nama saja tak punya. Tentu saja sebab tiada yang pernah menamai bapakku siapapun. Pipi dan seluruh keluarganya biasa memanggil bapakku dengan sebutan si Oom. Jadi anggap saja begitu. Si Oom adalah kucing garong. Iya, kucing jantan jalanan yang begitu dibenci manusia namun digandrungi betina-betina muda. Kalau kamu sering melihat betina-betina muda bersantai di sore hari di halaman rumah, atau sepanjang jalanan yang sepi, itu semata hanyalah untuk menarik perhatian kucing garong. Ada semacam kepercayaan di dunia kami bahwa kucing garong sangatlah memikat kucing-kucing betina. Bagi kami, para betina, ia yang kerap memenangkan pertarungan adalah yang terbaik. Tak peduli apapun rasnya.

Belok cerita sedikit, jika kamu pernah mendengar falsafah tentang seekor kucing dan sembilan nyawanya, maka itu memang benar. Dunia kucing memiliki ajang pertarungan maut yang liar dan buas. Tanpa wasit. Tanpa polisi. Tanpa petugas P3K! Hanya kucing-kucing bernyali yang berani mendaftar untuk ikut pertarungan. Di setiap wilayah setidaknya setiap 3 bulan sekali selalu diadakan pertarungan maut itu. Fight till you death, begitu kami biasa mengistilahkan. Para kucing jantan akan bertarung menentukan siapa yang paling kuat di antara mereka. Jika peserta yang mendaftar tak begitu banyak, maka pertarungan akan diadakan dengan menggunakan sistem kualifikasi terlebih dahulu. Babak penyisihan grup. Satu grup terdiri dari 4 kucing yang akan bertarung satu sama lain untuk menentukan juara grup. Sang juara grup akan melaju di babak gugur dan begitu seterusnya hingga lahirlah sang pemenang. Setelah sang pemenang lahir, kami akan memasuki periode jeda. Di periode jeda ini para betina akan bersolek mencoba mencari perhatian para jantan. Biasanya langsung dikawin. Setelah musim kawin selesai, kembalilah musim tarung. Para jantan akan kembali mendaftar untuk menguji nyali, mengikuti proses penyisihan grup untuk melaju ke babak gugur.

Setiap kali seekor jantan memenangkan 1 pertarungan, maka ia otomatis memperoleh 1 nyawa cadangan.

Jika kalian–para manusia–bertanya, apa sih gunanya nyawa cadangan itu? Kuberitahu jawabannya. Kami butuh nyawa cadangan karena setiap nyawa cadangan akan hilang setiap kali kami terlindas roda kendaraan yang seenak udel melintas dengan kecepatan tinggi tanpa pernah meminta maaf, atau tiba-tiba disiram air panas oleh kalian dan kami tak sempat melarikan diri, atau dilempar–juga oleh kalian–dari tempat yang amat tinggi sehingga kami akan terjatuh dan nyaris mati, karena tentu saja kami bukan kelelawar. Begitulah cara kami mengumpulkan nyawa, terutama para jantan.

Ia yang berkali-kali memenangkan pertarungan di wilayahnya, berhak menentukan wilayah jelajahnya. Ialah yang kemudian menjadi pemimpin. Mereka yang kalah, harus tunduk pada perintah sang pemimpin. Itulah si Oom, bapakku. Bapakku seorang petarung! Ia yang kerap memenangkan pertarungan adalah yang terbaik.

Begitulah Pipi menceritakan asal usulku. Setiap kali Pipi menceritakan tentang masa lalu bapakku, aku merasa bangga. Aku merasa… senang. Dari situ pula awalnya aku menyayangi Pipi. Sebab Pipi tak pernah memandang rendah pada bapakku, meski tak memiliki nama, apalagi ras.

Aku tahu Pipi sudah punya 1 kucing sebelum aku, bernama Kayo. Ia nenekku dari pihak Mama Ting Ting. Aku memanggilnya Nek’Ayo. Nek’Ayo merupakan keturunan siamese yang kental dengan corak cokelat kehitaman pada seluruh wajahnya.

Sejak usia 4 bulan aku diasuh oleh Pipi dan Nek’Ayo. Kami saling menyayangi satu sama lain.

~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)