Selamat Jalan Ibu (1)

Catatan: 
Tulisan Selamat Jalan Ibu bagian 1 ini saya sertakan lagu Selamat Jalan Kekasih (Rita Effendi). Lagu ini mengingatkan saya pada hari-hari bersama Ibu di RS Kanker Dharmais, Jakarta (sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RS Pusat Pertamina, Jakarta, 10 tahun silam, 28 November 2001). Hari-hari itu seingat saya ada sinetron di televisi yang di ujung tayangnya selalu memutar lagu itu, hingga di suatu malam saat giliran saya jaga di rumah sakit menemani Ibu, sebelum kami tidur tiba-tiba Ibu berbisik, "Nanti kalau Ibu udah boleh pulang ke rumah, Putti nyanyiin pake piano lagu Selamat Jalan Kekasih untuk Ibu ya?" 

Saya tersenyum mengiyakan. Nggak pernah terbayangkan bahwa lagu itu akan menjadi kenyataan. 

Selamat jalan Ibuku, kekasihku, kaulah cinta terabadi dalam hidupku. 

* * * 

It was early July 2001, my second year working in remote Kalimantan, and my fourth year since I have been moving so far from home. Mom suddenly called and asked if I could give up my job and go home. I, who used to be very stubborn about the way I deal with my life, just nodded. I wrote a letter to the company where I worked, asking if there was any possibility for me to be relocated in Jakarta so I could be near my Mom. Out of my expectation, the application was approved.

Saturday, 28 July 2001, I flew home. A week  later4 August, I celebrated my birthday with Mom and sisters. Four days later, 8 August, Mom was diagnosed to have cancer cells wildly growing inside her body. She got herself medically treated in hospital for three and a half months, which we never left her all alone during all therapy process. We were there beside her all the time, taking care of her, loving her, and telling her stories about everything, about being a cancer survivor, about life, about hopes, about the future. 



But cancer was incurable, not until now. She died in 28 November 2001. 


I did not cry the day she passed away, did not shed any single tear. 


But I have been writing a lot since then, all about her. I write, and I write, and I write, almost everyday, all about her. About how I loved her. About how sorry that I had never been able to prove that I needed her more than I ever needed anyone in my life.

* * *

Pada Kening Ibu

Hanya karena keinginan buta untuk mencari jati diri
atau angan-angan tentang aku
yang tidak pernah tahu arti kata sesal
jika dulu aku memutuskan untuk pergi

Lalu karena aku telah ciptakan batas pada ruang dan waktuku
yang teguh seperti kukuh
bukan berarti bahagia telah aku dapatkan
jika dulu pun aku bilang tak ingin aku kembali

Andai saja semua tanya dulu terjawab
tentang laraku yang bertanya pada Ayah
tentang malam yang sembunyikan Ibu
dan betapa sepi yang menjadi teman sejati

Andai saja aku dulu berhenti pada ikhlas
tidak perlu bertanya pada langit yang menjauh
tidak perlu bernaung pada semesta yang tidak bertepi
dan betapa sesaknya elegi yang merindukan balas

Kini,
pada kening Ibu yang beku
aku mohonkan sebutir maaf
yang takkan pernah lagi benar-benar terjawab

Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, 28 November 2001 

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)