Selamat Jalan Ibu (2)

Catatan:
Tulisan ini diambil dari catatan lama saya tanggal 28 November 2009.

* * *

Hari ini (1)

Hari ini saya tidak melihat pagi.

Barangkali karena tidak ada bulat bundar matahari muncul dari balik sebuah bangunan tua yang buram dan tidak terawat itu, tapi saya tebiasa menantinya setiap pagi. Bukan karena sinarnya berbias indah seperti semua orang tahu dan setuju, tapi karena saya telah terbiasa memandangnya barang satu-dua jam setiap pagi sambil bertanya pada pemilik hidup, apakah saya bisa bertahan setidaknya sampai besok?

Hari ini saya tidak melihat siang.

Karenanya saya tidak tahu persis sekarang ini jam berapa. Bukan karena saya telah menjadi lupa sehingga buta. Sebab saya ingat saya juga belum makan sejak pagi tadi. Barangkali karena saya juga tidak melihat pagi, jadi buat apa makan? Tapi, bukankah saya perlu makan untuk bertahan, setidaknya sampai besok?

Hari ini saya tidak melihat petang.

Di mana anak-anak selalu pulang ke rumah. Rumah siapa? Saya pikir ini rumah saya, ternyata bukan. Sebab di sini tidak ada senja. Di rumah saya, setiap sore selalu datang senja, sehingga petang selalu menjadi sebuah titik waktu yang saya rindukan. Saya merindukan memeluk anak-anak, juga ayah mereka. Tapi semuanya berhenti. Lalu anak-anak pun berhenti pulang, juga ayah mereka.

Kenapa? Apakah mereka lupa saya ada di mana sekarang? Apakah cakrawala itu tidak lagi menuntun mereka pulang? Padahal lihatlah, saya masih di sini. Masih mengingat betapa hangatnya memeluk tubuh mereka, dengan cinta yang tidak pernah putus.

Hari ini saya tidak melihat malam.

Kubah langit yang biasanya berwarna kelam pekat dan sesat itu terlihat berwarna putih saja. Tidak ada batas untuk memetakan yang mana bumi untuk berpijak, dan yang mana udara untuk dihirup. Tidak ada bintang untuk memandu jalan pulang. Tidak ada apapun, tapi bukan gelap. Tidak ada apapun, tapi bukan hitam. Hanya ada segaris tipis cahaya vertikal. Apakah itu sebuah petunjuk? Saya tidak tahu.

Apakah itu sebuah akhir? Saya tidak tahu.

Sebab hari ini, yang saya lihat hanyalah saya pergi meninggalkan saya, sendiri.

Jakarta, November 2009

Barangkali, ini yang namanya kematian. Barangkali, ini yang dirasakan oleh Almarhumah Ibu saya di hari itu, 28 November 2001, hari di mana ia tidak pernah lagi melihat dunia.

(Ditulis sambil menemani sahabat saya bernyanyi. Saya menangis, ia tidak tahu.)

* * *

Hari Ini (2)

Hari ini saya menulis.

Saya menulis tentang kerinduan pada Ibu, sambil ditemani seorang sahabat terbaik. Saya menangis, ia tidak tahu. Ia bernyanyi. Ia bernyanyi sambil mengumpat tentang seorang laki-laki. Pasti laki-laki itu keparat sebab ia bernyanyi dengan nada-nada tinggi sehingga urat-urat di lehernya meloncat semua. Mengerikan.

Hari ini saya menulis.

Semestinya saya menulis tentang kerinduan pada Ibu, sebab saya jelas-jelas menangis. Tapi sahabat saya itu malah bernyanyi tentang seorang laki-laki yang keparat sehingga saya pusing dan urat-urat di leher saya berserakan hingga ke seluruh wajah. Juga tidak kalah mengerikan dari sahabat saya yang pintar bernyanyi dan mengumpat itu.

Jadi lebih baik saya menulis tentang hal-hal yang mengerikan saja dalam hidup. Bahkan lebih mengerikan daripada urat-urat kami yang tiba-tiba belingsatan tadi.

Saya tahu. Yang lebih mengerikan adalah suatu fakta bahwa tujuh dari delapan populasi laki-laki di dunia ternyata adalah laki-laki keparat.

Jakarta, November 2009

Di perjalanan pulang kami menyenggol seorang pengendara motor, laki-laki. Ternyata laki-laki itu baik, tapi (sialnya) ia malah membuat kami terlihat seperti perempuan keparat. :)

* * *

Hari Ini (3)

Hari ini saya ingin memaki.

Saya ingin memaki karena ternyata di negara tempat saya hidup, perkembangan populasi manusia bejat telah dengan sukses mengalahkan populasi laki-laki keparat. Di sini, begitu banyak manusia berlomba menjadi sesat dan maksiat dan karenanya saya ingin memaki.

Memaki bukan mengumpat, sebab terdapat batasan-batasan kesopanan tertentu dalam mengumpat, sedangkan memaki membebaskan kita berbicara dalam bahasa manapun termasuk menggerakkan anggota tubuh menandai isyarat-isyarat tertentu.

Mengumpat terbuka bagi segala usia mulai anak-anak (namun sangat tidak dianjurkan bagi balita) hingga kakek-kakek dan nenek-nenek lanjut usia, dilakukan cukup satu kali dalam seminggu, biasanya hari Senin, sebab ia berfungsi juga sebagai pengganti olahraga otot mulut.

Memaki, sekalipun bisa dilakukan kapan saja tanpa mengenal frekuensi dan intensitas waktu tertentu, tapi sifatnya lebih eksklusif sebab hanya boleh dilakukan oleh orang-orang seperti saya: dewasa; cerdas; bertanggung jawab; berpenampilan menarik; berpengalaman; dan berjiwa muda.

Jadi, hari ini saya akan memaki. Saya akan memaki dalam bahasa tubuh, sebab otak saya sudah terlalu penat sehingga pekat, dan hati saya sudah terlalu lelah sehingga gelisah. Gelisah karena melihat para manusia bejat dan maksiat itu saling berbicara di antara mereka dalam bahasa kebohongan yang membohongi kami. Membohongi saya. Meniadakan nurani. Membodohi logika. Memecundangi akal sehat. Melacur pada harta. Birahi pada kuasa. Bersumpah atas nama tuhannya, tuhan mereka. Mereka yang pantas saya maki.

Mereka, terutama yang perutnya paling gendut. Perut gendutnya itu bahkan mengalahkan perut raksasa perempuan yang mengandung bayi gajah. Gajah bangkok. Besar dan goblok.

Juga mereka, terutama yang tidak mempunyai sepasang mata: mata hati dan mata nurani, sehingga buta: buta iman dan buta pikiran.

Lalu mereka, yang perutnya tidak terlalu gendut, mempunyai sepasang mata yang lengkap dan sehat, mempunyai akal bulus yang mulus dan pikiran kreatif yang inovatif dan fiktif untuk mengarang berlembar-lembar cerita. Cerpol, bukan cerita politik, tapi cerita polesan. Cerita yang pol-polan. Mereka itu, kalau bicara terlihat busa-busa di mulut kanan-kirinya. Ludahnya muncrat. Muncrat manusia bejat.

Jakarta, November 2009

(Ditulis sambil memberikan salam jari tengah bagi mereka, para manusia bejat yang mengaku wakil-wakil yang amanat padahal maksiat.)
https://blogger.googleusercontent.com/tracker/8347276751023042288-3361329429926281573?l=puttirannibercerita.blogspot.com

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)