Selamat Jalan Ibu (3)

Jika seseorang bertanya padaku, “Darimana asalmu, Ratu?” Aku akan bercerita seperti ini.

Leluruhku adalah turunan seorang dewi. Ia berparas ayu. Ia berbicara tidak seperti orang-orang berbicara dengan lidah mereka yang pintar-pintar itu, sebab ia hanyalah seseorang yang terlalu sederhana. 

Suatu ketika aku bertemu dengannya. Kami terpisah berabad-abad jauhnya. Kami terpisah berpuluh-puluh wajah yang telah lahir. Kami terpisah tetapi kami saling mengenali. Aku mengenalinya ketika kedua telapak tanganku menyentuh tubuhnya. Ia mengenaliku dari keringat yang menetes di sela-sela jariku. 

Leluhurku, sejak aku bertemu dengannya, aku membuat sendiri silsilah nenek moyangku. Aku memilih sendiri siapa yang akan kuceritakan menjadi leluhurku. Aku memilih sendiri garis balik hidupku, seperti orang-orang memilih sendiri apa yang akan mereka tulis pada catatan harian mereka. Jika orang-orang memandang ke hari depan, aku lebih menyukai menatap hari kemarin, bukan kemarin seperti hari ini hari Senin lalu kemarin adalah hari Minggu, bukan itu. Tapi puluhan, ratusan, ribuan, hingga jutaan hari kemarin. Dan pikiranku tersimpan di hari kemarin. Berkutat di masa lalu. Masa silam. Masa kelam. Masa tambal sulam. 

Lalu di sanalah aku mengenal leluhurku, yang telah memberiku masa lalu dan menyelamatkanku dari ketidaktahuanku tentang apa yang harus aku tulis pada masa laluku.

Leluhurku, ia dinamai Kendra. Ia turunan seorang dewi berparas ayu. Ia berutang nyawa pada leluhurnya. Suatu hari di tahun yang telah lama sekali, ia terlahir kembali dalam wujud perempuan yang melahirkan aku. Aku berutang nyawa padanya. Dan karena sebab itulah aku tidak membutuhkan satu pun alasan untuk mencintainya.

Leluhurku, ia telah memberiku alasan untuk menulis tulisan-tulisan tentang rindu. Rindu akan masa lalu. Masa silam.

Leluhurku, dan rindu-rinduku.

* * *

"Jika ada rindu yang tidak tertahankan, 
ialah rinduku pada Ibu." 

28 November 2001 - 28 November 2011