Secangkir Teh Manis

Sudah kukatakan pada istriku bahwa perempuan itu adalah seorang teman lama dan pertemuan kemarin sore terjadi tanpa direncanakan tapi istriku tetap menuduhku berselingkuh padahal dia sudah menikah. Lagipula, dia tidak lebih cantik daripada istriku.

* * *
Dia cuma seorang perempuan yang pernah membuatku tersenyum setiap hari sewaktu kami sama-sama bekerja di sebuah hotel, dulu. Dia memegang posisi yang berbanding terbalik dengan kebiasaannya yang jarang bicara, Senior Public Relation Manager, dan aku memegang posisi yang berbanding lurus dengan tampangku, Sales Executive, dan aku tidak pernah merasa istimewa sebab pekerjaan ini bisa dilakukan oleh semua penggemar remeh-temeh di dunia tetek-bengek di manapun Anda berada (dan hubungan subordinate yang jomplang seperti ini bukanlah hal yang mengerikan dalam struktur organisasi perusahaan seandainya semua orang berhenti merecoki kami dan bertaruh siapa yang akan muncul sebagai menteri keuangan andai kami menikah nanti dan ternyata tidak, lalu siapa yang memenangkan pertaruhan?).

Sekarang, tentu saja aku sudah menikah, hampir tiga tahun yang lalu, bukan dengan dia. 

Tapi dengan seorang perempuan pintar dan cantik pilihan ibuku. Dan aku memutuskan menikahinya pada kencan ke sepuluh. Aku berbicara dan membayangkan masa depanku bersama seorang perempuan yang baru kukenal dua bulan setengah dan bahkan jantungku sama sekali belum tertusuk oleh panah-panah asmara. Perempuan itu tentu saja matanya berbinar-binar dan kelihatan semakin cantik sementara saat itu aku sungguh tidak menyangka bahwa aku akan menikahi seorang perempuan yang mempunyai keahlian berpidato di meja makan (seharusnya hal itu dicantumkannya dalam Curriculum Vitae!). 

Tapi tetap kunikahi dia sekalipun pagi ini aku terdampar di sini, di sebuah warung kopi yang agak jauh dari rumah kami sebab istriku mengusir aku. Aku menyeruput secangkir kopi hitam yang rasanya tidak enak. Istriku, Siska, setidaknya pandai menyeduh kopi meski tidak pandai memasak selain nasi goreng dan telur dadar untuk kami berdua. 

Ya, istriku, si orator ulung itu, memang tidak pandai memasak. Tapi buatku itu sudah lebih dari cukup ketimbang meladeni perbincangan sengit tentang perbedaan cara mendidik anak perempuan dan anak laki-laki. Istriku bersikeras bahwa membesarkan anak perempuan jauh lebih sulit. “Perempuan adalah kunci. Bagaimana seorang anak perempuan dididik dalam lingkungan parental akan menentukan tingkat moralitas sebuah bangsa. Barometernya bukan lagi diukur dari anak laki-laki,” ia berteori di suatu pagi yang masih terlalu pagi untuk berteori. Dan lucunya, aku tidak dapat menangkap intisari pembicaraannya sebab bagiku cara mendidik anak sama saja, yang justru sulit adalah pembuatannya dan itu masih terbukti hingga kini. Lalu kami pergi ke kantor dengan wajah masam. 

Aku sudah tidak lagi bekerja di hotel yang dulu. Istriku, adalah seorang Executive Secretary yang memiliki keahlian mengetik berbanding lurus dengan kecepatannya dalam berbicara: 300 kata per menit! Belum lagi jika pengetahuannya tentang sejuta gaya bahasa dipraktekkannya padaku, padahal semua itu tidak mengubah apa-apa termasuk kebiasan merokok yang tidak ingin kuhentikan. 

Apakah permasalahan tentang “merokok dapat merugikan kesehatan” adalah sebuah hal yang gawat sehingga mesti diperdebatkan di tempat tidur? Meski aku bukan orang yang romantis tapi di malam hari aku lebih menyukai kegiatan lain ketimbang bersitegang soal rokok. Mengapa peringatan pemerintah ini mesti mengacaukan agenda kami sebagai suami istri? 

Dan praktek-praktek gaya bahasa itu pernah kulemparbalik padanya dengan maksud membuatnya mengerti bahwa aku ingin supaya dia tidak terlalu banyak bicara. Jika melihat kamu tertidur, bisikku padanya di suatu pagi yang ceria, baru kusadari bahwa aku sungguh mencintaimu. Celakanya, dia malah memandangiku dalam-dalam, memelukku erat-erat, dan menangis. 
Gawat. 
Aku terjebak dalam gaya bahasa sialan itu. 

Ketika aku mengeluhkan hal ini pada seorang teman, dia berceramah bagai seorang penasihat perkawinan ulung yang telah mengalami bermacam-macam jenis perkawinan. Temanku itu bersabda: janganlah engkau menikahi perempuan yang tidak kaucintai. “Hei, aku s-u-d-a-h menikahinya!” kataku berteriak hingga separuh penghuni Mars bisa mendengar teriakanku. Tapi pernikahanmu ini untuk menyenangkan hati ibumu ‘kan? 

Temanku sialan itu bisa jadi benar. Tapi tentu saja aku mencintai istriku. Siska cantik. Pintar. Hebat. Hanya sedikit bawel. Eh. Sangat. Tapi seluruh keluargaku dan keluarganya sangat mendukung pernikahan kami, lalu apa yang salah? 

Apakah itu karena kejadian-kejadian yang telah lewat tapi semuanya masih tinggal dalam kepalaku bagai sebuah kaleidoskop tentang kehidupanku dan hanya aku sendiri yang mengerti betapa pentingnya saat-saat itu bagiku? Segala sesuatu yang berkaitan dengan si PR Manager. 

Hubungan kami bisa dibilang dimulai dengan secangkir teh manis. 

Sore itu hujan deras. Aku berteduh sambil merokok di sebuah halte bis di depan kantor. Si PR Manager lewat dengan mobilnya menawariku menumpang. Aku tanpa berpikir panjang langsung meloncat ke mobilnya dan membasahi hampir seluruh jok mobil. 

“Arah selatan?” dia menebak. “Ya. Tanah Kusir,” jawabku. “Dari situ saya bisa naik Metromini,” aku melanjutkan. 

Dia tersenyum sambil melajukan mobilnya di tengah kemacetan jalan. Tiba-tiba dia membelokkan mobilnya ke sebuah halaman rumah dan memintaku turun. Aku bingung tapi menurut. Ia masuk ke garasi dan aku menunggu di teras. Lima menit kemudian ia muncul lagi, membawa sebuah cangkir di atas nampan. 
“Minumlah. Saya selalu minum ini supaya hangat,” katanya sambil memberiku secangkir teh panas.
Rasanya manis. Sejujurnya aku tak terbiasa minum teh, apalagi panas
“Ini tempat kost saya,” lanjutnya seraya menjawab kebingunganku. “Tapi sore ini saya ada keperluan ke Ciputat.” 
Tak lama kami melanjutkan perjalanan dalam diam. Dan aku turun di pertigaan Tanah Kusir. 

Esoknya aku pergi ke kantor lebih pagi dari biasanya, menyeduh secangkir teh panas, lalu kuletakkan di meja kerja si PR Manager. Di sebelahnya kubuat tulisan pada secarik kertas: Teh ini lebih nikmat daripada yang Ibu seduh kemarin. Terima kasih. 

Aku menunggu reaksinya tapi sia-sia. Seminggu kemudian ketika Jakarta diguyur hujan deras, aku berteduh di halte bis yang sama. Tak lama si PR Manager lewat tapi tak menghiraukan aku yang sudah basah kuyup.
Aku kecewa tapi malam menghiburku dengan sebuah nyanyian tentang hujan. 

Esoknya aku pergi ke kantor lebih siang dari biasanya, dan terkejut melihat secangkir teh panas di meja kerjaku. Ada secarik kertas di sebelahnya bertuliskan: Siapa bilang tehmu lebih nikmat? 

Sejak itu hubungan kami hingga setahun berikutnya bisa dikatakan jauh lebih hebat daripada dua manusia yang gemar berbicara tentang rembulan malam. Kami tidak seperti itu. Tapi hubungan kami sangat istimewa sekalipun orang-orang menggunjingkan kami (atau lebih tepat: mengolok-olok posisiku) karena ditinjau dari sudut pendapatan per kapita saat itu aku termasuk dalam kategori yang masih membutuhkan subsidi moneter setiap bulannya (dan penyuntik dana terbesar siapa lagi kalau bukan ibuku) tapi itu tidak berarti apa-apa selama kekasihku membiarkan aku merokok di mobilnya, juga di tempat tidurnya. Kuakui toleransinya sebesar kesungguhannya padaku. Dan aku tidak pernah memanfaatkan hubungan kami sekadar mendapatkan kredit untuk memenuhi keperluan pribadiku. 
Ia mengagumiku. 
Dan aku amat mencintainya. 

Hingga suatu hari tanpa diduga-duga ibuku sakit keras dan berkata seakan-akan itulah pesan terakhirnya, yaitu aku harus menikahi seorang perempuan yang ia kenal dengan amat-sangat-baik-sekali (dan ya, tentu saja, dia putri dari sahabat ibuku dan kami sama-sama berasal dari suku Jawa) tapi aku tidak mengenalnya, dan aku terlalu takut untuk menentang titah ibuku sehingga aku berkata iya di hadapan ibuku yang tengah terbaring tak berdaya. 

Lalu dalam sekejap hidupku berubah. 

Aku menceritakan pesan ibuku pada kekasihku si PR Manager. 
Ia terdiam. 
Kemudian pergi meninggalkanku, selamanya. 
Dan aku mengakui bahwa aku terlalu pengecut untuk mempertahankan cintaku. 

Satu bulan setelah putusnya hubungan kami dia mengundurkan diri dari hotel. Dua bulan kemudian dia bertunangan tanpa melibatkanku sebagai tamu undangan sekalipun. Tiga bulan kemudian kudengar dia menikah dan aku kecewa, lalu mengundurkan diri dari hotel. Satu bulan setelah kudengar dia menikah, aku memutuskan untuk menikah. Dan melupakan dia. 

Betapa ironisnya hidup ini. 

Kemarin sore kami bertemu lagi, di tempat dimana aku tengah menunggu istriku yang sedang mengikuti seminar “Peranan Perempuan Dalam Rumah Tangga” (keren sekali istriku, bukan?). Dan aku hampir saja pulang karena istriku menelepon dan bilang bahwa dia akan berkumpul dengan teman-temannya semasa kuliah jadi aku tidak perlu repot-repot menjemputnya (padahal aku s-u-d-a-h menunggunya di sana!). Tapi lalu di situlah aku bertemu lagi dengan dia, si PR Manager, dewi cintaku yang hilang, dengan gayanya yang masih sama seperti dulu. Dan betapa terkejutnya aku dengan ekspresiku sendiri yang langsung memeluknya erat-erat, lama sekali, sehingga aku lupa bagaimana kalau suaminya melihat kami? 

Dia bertanya bagaimana kehidupanku berjalan setelah lebih dari tiga tahun kami tidak saling menghubungi. Kujawab, aku masih sama seperti yang dulu. Dia diam tapi aku melihat senyum di matanya. 

Pertemuan kami hanya sebentar (kami hanya sempat saling bertukar nomor telepon). Lima menit pertama kugunakan untuk memeluknya, erat-erat. Lima menit terakhir kuhabiskan untuk memandangnya, lekat-lekat. Ketika berpisah, aku mencium keningnya, dalam-dalam. 

Lalu siapa yang akan menyangka bahwa istriku dan teman-temannya menyaksikan reuni bersejarah itu? 

Karena itulah aku kini berada di sini sebab semalam istriku mengusirku dari rumah kami setelah ia melancarkan aksi serangan kata-kata yang tidak satupun dapat kuingat selain sesaat sebelum aku melangkah keluar dari rumah kami aku melihat istriku menangis sambil berkata, “Why? Why?” 

Sepanjang malam tadi aku hanya bisa melakukan tiga hal: melamun, melamun, dan melamun. Sejujurnya aku ingin sekali pulang sebab secangkir kopi hitam yang tidak enak ini sama sekali tidak menghiburku pagi ini. Aku merindukan istriku, dan kopi hitamnya, dan nasi gorengnya, dan telur dadarnya. 
Istriku, ajaklah aku pulang. 
Lalu perlakukanlah aku sebagai suamimu. 

Tapi aku dikejutkan oleh deringan telepon genggamku, meski ternyata bukan dari istriku. 
“Ya?” 
“Hai…” 
“Huh?” 
“Tumben hari Sabtu pagi begini kamu sudah bangun.” Suara itu masih persis sama seperti yang dulu. 
“Eh... Aku tidak tidur semalam.” 
“Ehm… Aku ingin tahu, apa kita bisa bertemu lagi, barangkali hari ini?” 
“Hmm…” aku bergumam. (Mungkin) sebaiknya aku berterus terang padanya bahwa aku telah menikahi perempuan pesanan ibuku itu, tak lama setelah dia menikah. Sebab aku (mungkin) masih percaya bahwa pernikahan adalah sebuah institusi yang (mungkin) tepat untuk meredam emosi-emosi pubertas yang tidak pada tempatnya. “Bagaimana dengan suamimu?” 
Dia tak menjawab. 

Ada keheningan yang lama di ujung sana. Sekalipun aku tahu kamu sangat ahli dalam diam tapi ini bukan saatnya untuk memamerkan keahlianmu. Bicaralah padaku, jawablah pertanyaanku. Sebab jawabanmu (mungkin) bisa membantuku untuk menghindari perselingkuhan yang (mungkin) akan terjadi pada kita. Sebab aku (mungkin) juga masih mencintai kamu tapi aku tahu ini (mungkin) tidak benar sebab kamu sudah kawin. Jadi, bicaralah padaku, jawablah pertanyaanku. 

“Kami… Hmmm, kami sudah lama berpisah. Resminya setahun yang lalu.” 

Aku terdiam (berusaha memilah-milah ‘mungkin’ yang tadi salah dan ‘mungkin’ yang tadi benar).

Pikiranku mulai kusut. 

“Han, pagi ini dingin sekali. Kamu merasa dingin?” 
Aku masih terdiam. 
“Bagaimana kalau kita memulai ini dengan secangkir teh manis?” dia bertanya lagi. 
“Ratna…” 
“Ya, Han?” 
“Kamu benar. Pagi ini dingin sekali,” kataku kemudian, sambil tersenyum. 


Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)