Sebuah Pencarian Dari Perjalanan Yang Masih Panjang

Errr... Sudah pernah baca tulisan ini: Jin Kuningan? Ada baiknya baca dulu ^^.

Begini. Setiap orang pasti punya saat-saat yang ingin dikenang dalam hidupnya. Biasanya sih saat-saat yang ingin dikenang itu karena hanya terjadi sesekali saja dalam hidup kita. Sayapun begitu.

Kira-kira beberapa waktu setelah saya menulis cerita tentang Jin Kuningan, saya memulai perburuan mencari meja marmer berkaki kuningan warisan Ibu yang hilang.

Baik. Bukan hilang. Tapi ada di satu tempat tertentu yang entah dimana, di kota apa, di pulau apa. Di sebuah ruangan yang entah milik siapa, milik Tuan Anu atau Nyonya Anu. Bisa jadi ruangan itu berada di sebuah rumah yang baik-baik saja, bisa jadi juga di sebuah toko barang antik, bisa jadi juga museum, bisa jadi juga gudang yang penuh dengan tikus dan sarang laba-laba, mengingat kondisi terakhir kaki meja yang miring itu memang sudah tidak layak dipajang di ruang tamu.

"Kemiringannya sudah terlalu parah bahkan lebih parah daripada menara Pisa yang sewaktu-waktu bisa roboh dan marmernya yang maha berat itu akan menimpa kaki-kakimu. Menggepengkan jari-jarimu. Mengerikan."

O hidup. :(

Saya berembuk dengan kakak dan adik-adik bahwa saya serius ingin menelusuri keberadaan meja marmer itu. Saya bilang, saya mau melakukan apapun untuk mendapatkannya kembali. Mereka agak kaget. Cenderung pasrah. Ya. Bukan saya namanya kalo mengambil keputusan yang biasa-biasa saja ^^.

Kakak saya menyerah. Katanya, nggak ingat meja itu dikasih ke siapa. Lagipula, ini sudah bertahun-tahun lewat. Bisa jadi meja marmer itu sudah berpindah tangan lagi, lagi, dan lagi. Dua adik saya yang lain juga menyerah. Harapan tinggal satu: adik saya yang laki-laki yang selalu siap membantu mewujudkan keinginan saya yang seringkali nggak masuk akal ^^.

Perburuan dimulai.

Adik saya mengubungi beberapa teman masa sekolahnya yang dulu ikut kebagian mewarisi beberapa barang peninggalan Ibu. Satu bulan lewat. Dua bulan lewat. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Lewat.

Tidak ada satupun yang merespon balik. Bahkan salah satu teman adik saya yang saya curiga dia tahu jejak terakhir si meja marmer dikabarkan sudah pindah rumah entah kemana dan adik saya kehilangan jejaknya.

O semesta yang tak berujung.

Setahun menjadi dua tahun. Masih tetap lewat.

Tapi bukan saya namanya kalo hanya diam dan pasrah. Kira-kira tujuh bulan lalu, saya kembali minta adik saya lebih gencar menghubungi beberapa temannya untuk mencari jejak si salah satu temannya untuk mendapatkan jejak si meja marmer.

Tolong katakan pada mereka, saya serius. Sebab ini bukan sekadar perkara meja marmer yang biasa-biasa saja. Ini meja marmer ajaib yang bisa mengabulkan duabelas permintaanmu. Lho? Kenapa duabelas, kenapa bukan tiga? Tentu saja. Sebab meja marmer ini berkaki empat dan pada masing-masing kakinya terukir wajah jin. Jika satu jin saja bisa mengabulkan tiga permintaanmu, maka empat jin bisa mengabulkan duabelas permintaanmu.

Baik, saya mulai melantur. Tapi tak apa. Tokh saya cuma mengharapkan meja itu kembali. Tidak lebih.

* * *

Kira-kira satu bulan yang lalu, salah seorang teman adik saya yang tadi itu (iya yang itu! Kan, betul dugaan saya!) menghubungi adik saya dan bilang begini: "Dey, ini meja bukannya yang dicari-cari sama si Teteh? Ini ada di saya. Terus gimana?"

O matahari senja dengan sinarnya yang mewah!

Saya girang, menari ke kanan dan ke kiri, lalu menghubungi dia. Kami sampai pada kesepakatan yang luar biasa membahagiakan. Meja akan diantar ke rumah adik saya.

Dan tibalah saat itu. Saat-saat yang akan saya kenang seumur hidup saya. Saat meja marmer kembali ke tangan kami. Dua minggu lalu. Saya langsung menemuinya dan mengabadikannya. Meja ini bukan sekadar sebuah kenangan yang menjadi bagian dari masa lalu saya, tapi ia adalah bagian dari masa lalu almarhumah Ibu yang tersimpan dengan rapi dalam ingatan saya.


:')

Bentuknya masih miring dan semakin miring. Si meja sengaja disandarkan pada dinding agar bisa sedikit tertahan kemiringannya.

Dan ini satu di antara mereka, para jin kuningan, Ia adalah John, si jin kuningan peranakan Jamaika-Jerman-Jawa. Pada saat malam tragedi tujuh botol menggelinding, instead of fucking me up, John justru menghibur, tersenyum sambil berbisik: "everything's gonna be alright."


Yes. Everything's gonna be alright. Eventually. Only when you believe. I do believe. 

* * *

Sesaat setelah saya mengira saya sudah mendapatkannya kembali, saya teringat satu hal. Ternyata pencarian saya belum berhenti sampai di sini. Sebab semestinya saya menyimpan satu lagi warisan Ibu: sebuah guci!

"Guci kecil yang tutupnya telah hilang itu terbuat dari porselen cina berwarna cokelat, dulu selalu ditaruh di atas meja marmer milik Ibu di ruang tamu kami, sebuah meja marmer berkaki empat terbuat dari kuningan..." 

Saya menyebutnya guci penadah jin. Dan saya nggak ingat ada di mana guci itu sekarang.

O perjalanan yang masih panjang~

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)