Jin Kuningan


Sewaktu Ibu meninggal, saya mewarisi dua barang miliknya. Pertama: sebuah televisi berwarna merek Toshiba buatan tahun 1999 dengan layar maha cembung selebar 29 inci yang sekarang terlihat sangat kuno. Kedua: sebuah guci yang tutupnya telah lama hilang. 

* * * 

Guci kecil yang tutupnya telah lama hilang itu terbuat dari porselen cina berwarna cokelat. Dulu selalu ditaruh di atas meja marmer di ruang tamu kami. Meja marmer berkaki empat terbuat dari kuningan yang tingginya tidak pernah sama panjang sehingga selalu miring ke kanan, dan jika kita menyuguhi tamu secangkir teh panas, maka cangkirnya akan ikut miring ke kanan dan air tehnya menetes di permukaan meja, meninggalkan noda kekuningan dan membuat Ibu ngomel-ngomel. 

Saya tidak mewarisi meja marmer ajaib berkaki kuningan itu. Sewaktu kecil dulu saya sangat membencinya sebab saya selalu kebagian tugas sebulan sekali membersihkan keempat kaki kuningannya yang masing-masing terukir wajah jin bertelanjang dada. Saya katakan jin sebab rautnya mengerikan. Dan hitam. Dan galak. Galak sebab matanya melotot. Hitam sebab saya sering lupa menggosoknya pakai braso atau pasta gigi (jika saya lupa membeli braso) hingga dua bulan berikutnya dan membuat Ibu ngomel-ngomel.

Saya menyebut mereka semua jin. Jin kuningan. Waktu kecil saya membenci jin sebab hitam dan galak. Saya tidak tahu, adakah jin yang putih dan baik. Atau jin yang hitam tapi baik. Dalam benak saya hanya ada ini: jin yang hitam dan galak. Dan saya membenci mereka bukan kepalang. Dan itu selalu menjadi pengantar doa saya ketika tidur: Tuhan, jangan pernah pertemukan saya dengan jin-jin itu. Dan esok paginya ketika bangun, saya selalu melihat wajah-wajah pada kaki-kaki kuningan meja marmer itu semakin hitam dan semakin galak. Dan saya semakin malas membersihkannya pakai braso ataupun pasta gigi dan membuat Ibu semakin ngomel-ngomel.

Suatu malam di musim kemarau ketika saya masih kanak-kanak, saya tersedak di tengah-tengah mimpi. Saya terbangun, beranjak dari tempat tidur dan perlahan mengendap keluar kamar untuk mengambil air minum. Saya tahu, sedikit saja saya bersuara, saya akan membangunkan jin-jin itu. Saya namai mereka Jaelani, Jainudin, Jamal, dan yang terakhir, yang selalu terlihat agak bule dan ganteng walaupun tetap hitam–barangkali karena ia mengaku blasteran Jamaika, Jerman, dan Jawa–maka saya menamainya John. Dan yang paling galak? Semua orang pun bisa menebak dari namanya: tentu saja Jaelani!

Malam itu saya berjinjit mengangkat tumit, berjingkat di dalam pekat. Saya membekali diri dengan sebuah perangkat perang: penggaris berbentuk senapan terbuat dari kayu untuk mengukur pola baju milik Ibu. Saya komat-kamit menegarkan hati sambil dua tangan menggenggam penggaris. Dalam kegelapan dengan mata separuh tertidur, saya melangkah menuju dapur, meraba setiap barang yang saya lalui untuk mencapai deretan botol beling bekas sirup ABC rasa jeruk tempat Ibu biasa menyimpan air matang yang siap diminum.

Berjalan dari kamar menuju dapur malam itu adalah perjalanan yang panjang dan membingungkan. Panjang karena dapur terletak di ujung berseberangan dengan kamar tidur saya. Membingungkan karena sewaktu keluar dari kamar, jam dinding berdentang dua belas kali dan ketika saya akhirnya berhasil mencapai dapur, saya mendengar sayup-sayup suara orang mengaji dari arah corong masjid menandai adzan subuh segera berkumandang. Astaga, pagi segera datang! Sudah berapa jam saya di dapur? Tubuh saya tiba-tiba merinding, menggigil, bergetar, dan...

Prang!

Suara orang mengaji hilang. Pintu kamar terbuka. Saya membeku. Sesosok tubuh terlihat mengendap keluar kamar mengenakan jubah putih yang menjuntai ke ujung lantai. Jam dinding berdentang satu kali memecah kesunyian. Saya menjerit.

“Astaghfirullah Putti, kenapaaa? Ibu baru mau mulai shalat tahajjud. Kamu ini mau apa malam-malam ke dapur bawa-bawa penggaris Ibu? Ini semua botol air jadi tumpah menggelinding! Beresin semuanya, sekarang, jangan nunggu besok pagi...”

Begitulah.

Saya yakin Jaelanilah yang paling keras menertawakan saya malam itu.

* * *

Saya melamun di meja kerja, sambil memandangi telepon genggam seraya menunggu pesan SMS yang tak juga berbalas.

“Gue paling demen deh ngeliatin wajah-wajah sendu orang yang patah hati,” goda seorang teman yang ujug-ujug melintas membuyarkan lamunan.

Saya diam, termanyun.

* * *

Laki-laki itu, laki-laki yang telah bikin saya menjatuhkan hati, saya menyebutnya jin. Barangkali karena ia selalu ujug-ujug datang dan ujug-ujug pergi. Seperti jin, selalu begitu, menakut-nakuti hati saya.

Atau, barangkali juga karena ia berkulit hitam seperti jin yang pernah ada dalam imajinasi masa kanak-kanak saya.

* * *

Ketika pembagian warisan Ibu tiba, saya menolak mewarisi meja marmer berkaki kuningan yang tingginya tidak pernah sama panjang itu. Penolakan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kenangan buruk tentang tujuh botol menggelinding di dapur rumah di tengah malam gulita. Juga bukan disebabkan oleh Jaelani yang malam itu tertawa paling keras.

Penolakan itu lebih disebabkan oleh alasan keamanan dan keselamatan. Kaki mejanya yang miring ke kanan itu konon sudah tidak bisa lagi diperbaiki selain dengan cara menciptakan sebuah rumah dengan ruang tamu yang miring ke kiri sehingga mejanya tampak menjadi simetris tapi itu akan membuat seluruh rumah menjadi aneh. Kemiringannya sudah terlalu parah bahkan lebih parah daripada menara Pisa yang sewaktu-waktu bisa roboh dan marmernya yang super berat itu akan menimpa kaki-kakimu. Menggepengkan jari-jarimu. Mengerikan.

Meja itu kini entah berada di mana. Saya agak malu untuk mengakui bahwa saya menyesal karena telah menyia-nyiakannya. Penyesalan, kawan, memang selalu datang belakangan. Dan belakangan ini pula saya sering mengingat John, si jin kuningan peranakan Jamaika-Jerman-Jawa. Saya mengingat bagaimana malam itu, malam tragedi tujuh botol menggelinding, John justru menghibur, tersenyum sambil berbisik: “semua akan baik-baik saja” Dan saya masih mengingat senyumnya.

* * *

Ia, laki-laki yang telah bikin saya menjatuhkan hati, saya pun menyebutnya jin sebab kulitnya agak hitam tetapi tentunya bagi saya ia cukup ganteng. Ia mirip John dan karenanya saya senang menyebutnya jin. Saya menyebutnya jin, sebab setiap kali ia melesat keluar dari dalam guci ia selalu mengabulkan tiga permintaan saya, sekalipun yang ia kabulkan semuanya salah. Tapi tak apa. Bukankah cinta selalu memaafkan? Saya menyebutnya jin, jin kuningan, sebab ia menyewa sebuah kamar kos di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, di mana saya bisa memandang atap rumah kosnya dari meja kerja saya di sini.

* * *

Tidak seperti dulu, braso cairan pencuci kuningan kini agak susah didapat. Barangkali karena kuningan sudah tidak banyak diminati ibu-ibu seperti dulu, di meja tamu di hampir setiap rumah selalu ada wadah lilin bertangkai empat terbuat dari kuningan yang kebanyakan adalah oleh-oleh sepulang haji. Waktu saya kecil dulu, kuningan sempat menjadi lambang prestisé di setiap rumah sekalipun hanya digunakan sebagai hiasan: wadah foto, jambangan bunga, botol mungil berisi butiran celak untuk mempercantik mata, dan guci penadah jin.

* * *

Saya menatap ke luar jendela dari meja kerja saya, di sebuah kantor yang berada di salah satu gedung perkantoran tertinggi di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, di tempat di mana saya biasa melamun di senja hari dan memandangi atap rumah kosnya sambil bertanya-tanya sedang apa ia sekarang, lalu saya bisa tersenyum sendiri sesudahnya. Bagi saya, kegiatan seperti itu saja kadang sangat menyenangkan. Aneh.

* * *

Hingga kini saya masih menyimpan dua warisan Ibu: televisi 29 inci dan guci. Guci penadah jin yang tutupnya telah lama hilang. Barangkali karena tutupnya telah hilang itulah jin itu kini sudah tak tertadahi lagi sehingga ia bertualang entah kemana sebagaimana memang itulah kesukaannya.

Kuningan, Jakarta Selatan 
(Dari catatan lama)  

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)