Ilmu Hitam (Dari Sebuah Catatan Panjang, Bagian 2)

Saya nggak pernah tertarik dengan dunia klenik dan sejenisnya terutama yang berkaitan erat dengan ilmu hitam termasuk juga segala jenis turunannya seperti ilmu pelet.

Saya tahu itu ada. Hanya, saya nggak tertarik untuk sekadar mengetahui apalagi mempelajari penyebab sekaligus penangkalnya. Seumur-umur, saya cenderung untuk menghindari dan menjauh dari hal-hal semacam itu.

Menurut saya, hal itu sangat mengerikan.

* * *

Tanggalan di bulan ketiga sebagai penanda sejak tinggal di Tongoloka sudah saya lingkari dengan 9 bulatan berbentuk hati berwarna merah, artinya, jatah field break akan jatuh beberapa hari lagi. Saya pun mulai sibuk menyiapkan berbagai pesanan teman-teman dekat dan keluarga di rumah. Seperti biasa setiap field break tiba, saya selalu membawa barang-barang ini sebagai oleh-oleh:
1. Kain tenun khas Lombok dan Sumbawa.
2. Ayam Taliwang khas Lombok.
3. Madu khas Sumbawa.
4. Susu Kuda Liar khas Sumbawa.

(Beberapa penggalan cerita tentang keempat barang yang selalu menjadi oleh-oleh ini akan saya ceritakan nanti di bagian yang berbeda).

Field break kali itu adalah jatah field break saya yang kedua. Field break yang pertama saat itu saya belum tinggal di Tongoloka, tapi masih tinggal di barrack-hall di Concentrator.

Supaya nggak membingungkan, sebelum melanjutkan membaca cerita ini, ada baiknya membaca cerita Bagian 1 terlebih dahulu:
Merantau Dan Menjadi Minoritas (Bagian 1)

Singkatnya, field break adalah kegiatan yang paling ditunggu-tunggu oleh kami semua sebagai buruh proyek. Rotasi field break yang kami miliki tidaklah sama. Expatriate dan beberapa pekerja senior memiliki rotasi 2-9 (2 bulan di proyek, 9 hari cuti). Saya termasuk dalam rotasi 3-9 (3 bulan di proyek, 9 hari cuti, yang belakangan berubah menjadi 3-14). Ada juga yang memiliki rotasi 4-14 (4 bulan di proyek, 14 hari cuti).

(Ohya, saya mulai berani menyebut diri saya sebagai buruh proyek setelah berhasil melewati field break pertama dan saya nggak sabar untuk kembali ke proyek dengan segala kegundahan hati karena Ibu saya sebenarnya kurang rela melepas anak gadisnya bekerja begitu jauh dari rumah. "Bukan masalah jauhnya," kata Ibu waktu itu, setengah memelas pada saya. "Tapi kamu ini tinggal di hutan yang isinya cuma binatang dan laki-laki..." tambahnya, yang ternyata tidak cukup membuat saya menyerah dan resign dari proyek :))

Ok, balik ke persiapan saya menjelang field break kedua.

Saking berbahagianya saya yang sudah berhasil melalui 3 bulan pertama di Tongoloka, saya tidak terlalu memperhatikan beberapa kejadian aneh antara lain, ditemukannya seekor ular dari spesies yang tidak lazim berwarna hijau bergaris merah di pintu depan rumah panggung kami (saya dan Diana tinggal bersama) yang tentu saja bikin heboh seluruh Tongoloka yang penghuninya tak lebih dari 100 orang. Penyisiran dan penjagaan mulai diperketat. Masalahnya, kami ini perempuan yang cuma segini-gininya, cuma berdua. Wajar kalau seluruh penghuni Tongoloka menjadi over-protective karena tidak ingin ada kejadian buruk apapun menimpa kami.

Saya yang biasanya begitu takut dan kalut akut melihat segala jenis binatang melata, mendadak merasa biasa saja. Sementara Diana pucat pasi nggak bisa tidur semalaman dan kekeuh bilang: gimana kalo ternyata ularnya masuk ke kamar mandi kita? Diana bersikeras kami mesti menggeledah seisi rumah yang luasnya cuma sepetak. Malam itu juga.

Tapi saya terlalu berbahagia untuk memikirkan ular sialan itu. Lusa saya akan field break. Dan saya nggak ingin perasaan gembira ini menjadi kacau gara-gara seekor ular. Jadi saya memilih tidur. Diana lalu cemberut.

Esok harinya, kami bekerja seperti biasa. Ketika waktu istirahat tiba, saya dan Diana makan siang di mess-hall lalu pulang ke rumah sebentar untuk Sholat Dzuhur. Tiba di rumah, saya ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Sudah menjadi kebiasaan saya yaitu selalu memperhatikan letak seluruh barang apapun yang ada di rumah termasuk di kamar dan di kamar mandi, setiap kali sebelum saya pergi meninggalkan rumah, dan seluruh barang itu akan saya absen satu per satu ketika saya pulang kembali ke rumah. Jika jumlah dan letaknya sesuai, artinya, semua berjalan lancar. Nggak ada barang yang berpindah tempat.

Juga siang itu, di kamar mandi kami.

Alangkah kagetnya saya ketika memperhatikan ada sesuatu yang hilang dari jemuran saya.

* * *

Lemas kaki saya seketika melihat isi jemuran saya berkurang satu: celana dalam milik saya! Saya berteriak cukup keras. Diana langsung menyusul ke kamar mandi. Dengan perasaan panik dan takut kami berdua berpelukan sambil menangis, kemudian berusaha saling menenangkan diri.

Setelah agak tenang, kami mulai mengabsen barang kami masing-masing. Positif. Barang yang hilang cuma satu: celana dalam milik saya yang saya jemur di dalam kamar mandi, di dalam rumah!

Sehari sebelum jatah field break saya datang.

* * *

Dengan perasaan kalut, takut, dan malu luar biasa, saya saat itu juga memberanikan diri masuk ke ruangan Pak Sonny Swasono. Pak Sonny ini adalah sedikit di antara para pekerja pribumi yang berhasil mencapai posisi Manager. Dia sangat senior. Dan sangat disegani. Dengan titel sebagai Site Manager, Pak Sonny bertanggung jawab atas kelangsungan hidup kami di sub-proyek Tongoloka.

Begitu saya terduduk di depan meja kerja Pak Sonny, saya sudah tidak sanggup bercerita apapun selain menangis. Saya cuma bisa bilang, "Pak, saya ingin pulang."
Pak Sonny: "Loh kenapa? Kalo nggak salah memang besok jatah kamu cuti kan? Ada apa ini?"
Saya terdiam cukup lama. Pak Sonny dengan gayanya yang kebapakan menunggu saya tenang.

Setelah agak tenang, saya mulai bicara.

Reaksi Pak Sonny cukup mengagetkan saya. "Fuck!" Dia berteriak cukup keras, bergegas ke luar ruangan, memanggil seluruh petugas sekuriti, menutup proyek, menyisir lokasi dari ujung hingga ujung, menggeledah seluruh barang apapun milik seluruh penghuni proyek, tidak terkecuali para expatriate.

Penyisiran siang itu dilakukan hampir selama 2 jam namun celana dalam saya tidak berhasil ditemukan di tempat manapun, bahkan di sela-sela kayu di kolong rumah panggung kami.

Pak Sonny secara maraton melakukan pemeriksaan silang dan berulang untuk merunut segala kejanggalan yang patut dicurigai, yaitu mereka yang berlalu lalang di sekitar tempat tinggal saya di hari itu mulai pukul 08.00 pagi hingga pukul 12.00 siang.

Hasilnya memang mengerucut. Hanya saja, pelaku memang tidak tertangkap tangan. Perusahaan tidak memiliki bukti yang cukup untuk mengusir dia dari proyek.

Hingga hari terakhir saya di Tongoloka, saya tidak pernah diberitahu siapa yang kemudian dicurigai sebagai tersangka utama pencuri celana dalam saya. Saya cuma bersandar pada insting saya sendiri melalui beberapa interaksi pribadi yang ternyata belakangan saya ketahui, orang ini pun memang dicurigai oleh beberapa teman-teman lain melalui kabar dari mulut ke mulut. Dia adalah Pak Anu.

Bukan. Dia bukan orang lokal. Dia juga bukan salah satu dari buruh tambang yang doyan nongkrong di pinggir jalan sambil iseng godain cewek-cewek yang lewat. Dia adalah seorang yang bertitel insinyur. Seorang yang selalu terlihat santun dan bermoral.

Seorang yang punya kemampuan untuk melakukan hal itu: menyelinap ke tempat tinggal saya dan Diana dengan mengelabui petugas sekuriti lalu masuk ke dalam rumah tanpa susah payah mendobrak pintu dan hanya meninggalkan bekas congkelan yang tampak rapi.

(Kemudian pengalaman ini mengajarkan, jangan percaya titel dan penampilan!)


* * *

Ketika tiba di rumah saya di Bandung, hati saya begitu gundah. Saya sudah sempat memutuskan tidak akan kembali ke proyek. Ibu saya bisa membaca keadaan ini. Tapi saya terlalu malu untuk bercerita apa yang terjadi. Jika saya berterus terang, kedua orangtua saya akan melarang saya kembali ke proyek. Dan itu artinya, saya harus berhenti merantau. Dan itu artinya, saya menyerah pada keadaan. Dan jika saya menyerah pada keadaan, artinya saya kalah menghadapi orang itu.

* * *

Dengan mengumpulkan segala kekuatan yang tersisa, saya memutuskan kembali ke proyek. Setiba di proyek, saya disambut dengan gembira oleh atasan saya, sang Project Manager, Pak Tony Harvey. Dia seorang laki-laki berkebangsaan Inggris yang sangat kebapakan.

Katanya (dalam Bahasa Inggris dengan aksen British yang sangat kental): "Putti, saya sudah berkonsultasi dengan beberapa orang lokal dan penasihat adat di desa sekitar sini. Bisakah kamu mengikuti ritual penolak bala? Penolak ilmu hitam?"

Saya bengong.

Lanjutnya, "Saya pimpinan proyek di sini. Saya tidak ingin ada kejadian buruk apapun setelah kamu kehilangan barang itu. Dan itu sungguh menakutkan."

Saya masih terdiam, menunggu Pak Tony selesai menjelaskan saya mesti apa dan bagaimana menurut para tetua dan penasihat adat Sumbawa.

"Okay, Putti?" tanya Pak Tony lagi.

Saya diam sejenak, kemudian mengangguk perlahan, lalu tersenyum. "Let me think about it. But most of all, I'm not afraid anymore, Pak Tony. I'm totally okay now. Thank you for everything you have done during my break."

Saya sangat menghargai usaha Pak Tony, Pak Sonny, dan seluruh teman-teman di proyek yang ingin melindungi saya (dan juga Diana) dari kejadian buruk apapun. Tapi saya juga menghargai apa yang saya yakini dalam hati kecil saya bahwa celana dalam hanyalah celana dalam. Hari ini hilang satu, besok saya bisa beli lagi selusin di Pasar Baru.

* * *

Hingga hari ini, hingga cerita ini saya tulis di blog, kedua orangtua saya tidak pernah tahu bahwa anak gadisnya pernah kehilangan celana dalam dengan cara yang tidak senonoh. Saya tetap tidak tega untuk menceritakan hal itu pada Ibu saya (yang kemudian meninggal beberapa tahun setelah itu). Apalagi pada Ayah saya. Kalau Ayah tahu, bukan cuma saya disuruh berhenti dari proyek, mungkin Ayah juga akan mengobrak-abrik orang yang telah dicurigai bersama itu.

:)

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)