Merantau Dan Menjadi Minoritas (Dari Sebuah Catatan Panjang, Bagian 1)

Pernah berada jauh dari rumah sekaligus hidup menjadi golongan minoritas di tengah suasana yang serba asing? Bagaimana rasanya?

Saya mau berbagi cerita tentang itu.

Beberapa tahun lalu saya pernah bekerja di wilayah Nusa Tenggara Barat selama hampir 2 tahun, tepatnya di pulau Sumbawa, di sebuah mega proyek tambang tembaga dan emas bernama Batu Hijau Project yang dikelola oleh PT Newmont Nusa Tenggara. Itulah kali pertama saya pergi merantau. Bukan hanya jauh dari rumah, jauh dari teman, keluarga, saudara, dan kampung halaman, tapi juga jauh dari keramaian dan peradaban umat manusia dengan segala hiruk pikuknya.

Baiklah, supaya nggak membingungkan, saya awali cerita ini dengan beberapa catatan pembuka.

Batu Hijau Project adalah mega proyek seluas hampir 60.000 hektar berlokasi di Kecamatan Sekongkang, Kecamatan Jereweh, sebagian Kecamatan Maluk, dan sebagian Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat. Mega proyek ini terdiri dari puluhan sub-proyek kecil yang dikerjakan oleh puluhan sub-kontraktor. Proyek itu pada mulanya hanyalah berupa hutan belantara dan bukit-bukit terjal yang pertama kali dibuka (kalau nggak salah) sekitar awal tahun 90an (ini menurut beberapa cerita senior saya, dulu).

Setelah proyek dibuka, beberapa lokasi kemudian disterilisasi dan menjadi area yang tertutup untuk umum baik dari penduduk setempat maupun pengunjung. Hanya pekerja terdaftar dan berizin resmi yang bisa memasuki proyek.

Pusat proyek itu sendiri berada di tengah-tengah lokasi proyek yang disebut Concentrator (kata ini diambil dari lokasi pusat pengolahan hasil tambang). Puluhan perusahaan sub-kontraktor membuka kantor cabang di sini. Di tempat bernama Concentrator inilah proyek bisa disebut 'agak' memiliki peradaban selayaknya sebuah kota kecil yang moderen yang dilengkapi dengan fasilitas mess-hall dan barrack-hall untuk tempat tinggal para pekerja proyek.

Selain itu, tidak jauh dari Concentrator, di sebuah area yang dinamakan Town Site, terdapat perumahan pekerja (di level tertentu, pekerja boleh membawa keluarga untuk tinggal di proyek), sekolah anak-anak pekerja, cafebarpubfitness centre, lapangan olahraga, mini market, yang semuanya disediakan khusus untuk penghuni proyek.

Ya seluruh peradaban itu berada di pusat proyek bernama Concentrator dan di sekitar area Town Site, bukan di lokasi dimana saya ditempatkan. 

Saya kebagian bekerja dan tinggal di sub-proyek di Tongoloka, Desa Tongo, Kecamatan Sekongkang, sebuah desa yang sebelumnya dipercaya tak berpenduduk. Kalaupun ada, barangkali hanya beberapa gelintir keluarga saja. Tongoloka bisa dicapai dari Concentrator dengan kendaraan 4WD sekitar 1 jam lebih (itupun kalau kondisi jalanan aman, tidak ada longsoran). 

Tongoloka yang kebetulan berada di dataran tinggi, tidak memiliki peradaban apapun selain bangunan kantor non-permanen yang sederhana dan beberapa bangunan rumah non-permanen untuk tempat tinggal kami para pekerja. Jarak rumah ke kantor hanya sejauh 3 menit perjalanan kaki. Sehari-hari kegiatan kami ya cuma ini: rumah - kantor - rumah.

Bisa dibayangkan, yang saya temui setiap hari hanyalah deretan pohon, tanaman liar yang tumbuh di bukit-bukit di depan perumahan kami yang tampak lebih indah di awal musim kemarau, lengkap dengan berbagai binatang yang belum pernah saya temui sebelumnya, traktor dan sejumlah alat berat serupa excavator, serta beberapa pekerja expatriate dan -ehm- puluhan laki-laki pekerja tambang (atau barangkali jumlahnya mencapai seratus. Bisa jadi). Ya, laki-laki pekerja tambang yang jarang melihat perempuan kecuali saat field break (cuti) setiap 2, 3, atau bahkan 4 bulan sekali.

Sedangkan perempuan di sub-proyek tempat saya ditugaskan hanya ada dua: saya dan Diana (Diana ini adalah putera daerah setempat (berasal dari suku Sasak asli) atau istilah kami dulu: orang lokal).

Saya sempat terpengaruh oleh cerita miring dari beberapa senior mengenai kondisi penduduk asli Sumbawa (yang dikenal dengan nama Tau Samawa) di tahun-tahun pertama saat Batu Hijau Project dibuka, sehingga di bulan-bulan awal saya di sini, saya terlalu takut untuk berinteraksi intens dengan penduduk lokal. Barangkali karena saya cuma pendatang yang masih tergolong junior. Mereka menyebut kami para pendatang dari Jakarta sebagai "orang head office". Karena itu dulu saya memilih untuk lebih banyak diam. Belum lagi saya sempat menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa perkelahian yang melibatkan senjata tajam asal Sumbawa. Pasalnya? Apalagi kalau bukan persoalan perburuhan.

Begitulah kesan saya dulu tentang Sumbawa dan para laki-laki pekerja tambang ketika pertama kali menginjak tanah Sumbawa.

Tapi di sinilah perjalanan saya sebagai perantau berawal. Yang kemudian, di tahun-tahun berikutnya, mengubah sedikit-banyak cara pandang saya terhadap hidup.

Mundur sedikit ke belakang.

Saat kuliah dulu, sehari-hari saya lebih banyak menggunakan kendaraan umum atau berjalan kaki. Satu hal yang saya benci saat berjalan kaki adalah keisengan cowok-cowok yang doyan nongkrong di pinggir jalan dan selalu ngegodain siapapun cewek yang lewat di depan mereka.

Dan setiap kali lewat, mereka selalu iseng memanggil:
"Hey Susi... Eh, Tini ya?"
"Kamarana wae atuh Neng geulis, meni somseu?"
("Kemana aja Neng cantik, sombong banget sih?")
"Neng, eta artosna murag, Neng..." 
("Neng, itu uangnya ada yang jatuh, Neng...")
"Neng, naha ayeuna mah rada goreng geuning?" 
("Neng, kok mukanya agak jelek sekarang?")

"......."

Iya, denger kalimat yang terakhir itu rasanya bukan cuma pengen nampol, tapi pengen tendangin mereka satu-satu sambil teriak "anjis!". :)))

Tapi ya begitu. Kelakuan cowok-cowok iseng yang doyan nongkrong di pinggir jalan yang selalu memanggil-manggil siapapun cewek yang lewat di depan mereka. Semuanya dipanggil "Neng". Kalau kita nggak mau nengok, lalu dipanggil "jelek".

Balik lagi ke kisah saya di Tongoloka.

Para laki-laki pekerja tambang itu terdiri dari beberapa golongan pekerja mulai dari skilled hingga non-skilled. Yang skilled adalah mereka yang memiliki keahlian spesifik, kebanyakan dari mereka berlatar belakang pendidikan insinyur bla bla bla. Yang non-skilled adalah mereka yang memiliki pengalaman bekerja serabutan, biasanya sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan lapangan tanpa perlu keahlian spesifik, namun demikian jumlah mereka selalu yang terbanyak dari semuanya.

Para pekerja proyek non-skilled ini -belakangan saya ketahui- adalah pekerja kelompok musiman dari satu proyek ke proyek lain yang bekerja secara berkelompok dan semuanya berasal dari daerah yang sama. Misalnya jika si kepala (Mandor) berasal dari daerah Cilacap, Jawa Tengah, maka hampir seluruh anak buahnya pun berasal dari Cilacap, Jawa Tengah. Sedangkan di sub-proyek Tongoloka, terdapat beberapa Mandor dengan rombongan anak buah masing-masing yang bekerja tentunya sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Mayoritas pekerja proyek di sini memang orang lokal. Tau Samawa.

* * *

Di suatu pagi yang tenang di Tongoloka, seperti biasa sehabis sarapan saya berjalan kaki menuju kantor.

Pagi itu sudah memasuki minggu kedua berada di tempat itu. Karena hanya ada 2 perempuan: saya dan Diana, maka kami selalu berusaha menghindari kerumunan laki-laki pekerja tambang, yang ternyata -seperti juga kebanyakan laki-laki di seluruh dunia- doyan nongkrong di pinggir jalan ngegodain siapapun cewek yang lewat di depan mereka. Tapi pagi itu agak sulit menghindari mereka karena kami sarapan dan ngobrol terlalu lama di mess-hall jadi jalan ke kantor sudah terlalu siang.

Lalu kami berdua mulai mendengar keisengan mereka:
"Hey cantik... berdua aja...?"
"Sini mau Abang temenin?"
"Itu yang di tengah kok ekornya di depan..."

"......."

Diana -yang tentu saja orang lokal nggak terlihat gugup seperti saya- bilang: cuekin aja Put, jangan diladenin.

Kami berdua tetap berjalan melewati mereka, sampai kemudian saya mendengar sangat jelas salah satu dari mereka bicara pada teman yang lainnya:
"Tah, Neng anu hiji deui mah urang Bandung. Sok geura calukan Neng, Neng, kitu, pasti ngalieuk..."
("Nah, Neng yang satu itu asalnya dari Bandung. Coba panggil Neng, Neng, gitu, pasti dia nengok...")

Seketika langkah saya terhenti dan menengok ke kerumunan lalu bergegas jalan ke arah mereka. Tepatnya, ke arah orang yang baru saja bicara dalam bahasa yang begitu akrab di telinga saya.

O semesta! Saya merasa girang bukan kepalang.

"Ya! Saya orang Bandung! Mana tadi bapak-bapak yang ngomong Bahasa Sunda? Ya Tuhan! Akhirnya saya ketemu sodara di sini, di hutan belantara ini!"

:')

* * *

Di tempat asal saya, setiap kali dipanggil "Neng... Neng..." oleh cowok-cowok iseng rasanya pengen nampol. Tapi di tempat yang begitu jauh dan begitu asing lalu tiba-tiba ada yang memanggil "Neng... Neng..." rasanya... rasanya begitu ingin memeluk mereka! Rasanya begitu terharu karena mendadak merasa punya saudara senasib sepenanggungan di tempat yang begitu jauh, begitu asing!

Tuhan memang selalu punya selera humor yang ajaib. 

Begitulah. Kisah awal suka duka sebagai perantau sekaligus menjadi golongan minoritas. Mereka, saudara-saudara saya yang baru, di tempat baru, kemudian menjadi penjaga saya. Pengawal saya. Pengalaman saya bersama mereka masih banyak. Akan saya sambung di cerita lain :) 

Oya, sekadar mengingat hari terakhir saya di sana, ketika pergi meninggalkan Tongoloka, saya sempat mengukir nama saya sendiri "Putti was here" (hahaha, norak ya? Iya!) pada pagar kayu sebuah pos keamanan kecil di perbatasan Tongoloka. 

Entah bangunan itu masih ada atau tidak.

:')

Tambahan foto:


Keterangan:
Foto tersebut terpaksa saya comot tanpa ijin pemiliknya*) dari Google, dengan maksud ingin menjelaskan seperti inilah kira-kira gambaran tentang Batu Hijau Project. Di bagian tengah, tampak kawasan Concentrator. Proyek Tongoloka tidak tampak di foto, tapi lokasinya kira-kira berada di sebelah kanan dari area Batu Hijau Pit.

*) Jika ada pihak yang mengklaim foto ini sebagai miliknya, mohon beritahu saya via email (di halaman depan blog ini). Saya akan meminta ijin untuk menggunakan foto ini.

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)