Perempuan-Perempuan Proyek (Dari Sebuah Catatan Panjang, Bagian 3)

Batu Hijau, Di Suatu Pagi 

Ingatanku pada tempat itu adalah 
cerita tentang rasa hati yang pilu bertanya 
akan keadaan yang tiada dan ketiadaan yang ada 
Rindu rumah, ibu bapak 
kampung halaman, anak istri 
Namun tenggelam ditelan pelukan lelaki-lelaki asing 
atau gundik-gundik yang bertebaran di persimpangan jalan. 

Entah di mana rasa itu lalu terjawab. 

[Benete. Saat terakhir kali melihat Batu Hijau Project.]  

* * *

Barrack-hall tempat saya tinggal selama tiga bulan pertama di Batu Hijau terletak di ConcentratorBarrack-hall ini semuanya berbentuk serupa: setiap satu kompleks barrack-hall terdiri dari rumah-rumah panggung yang berderet menempel satu sama lain. Seperti dormitory. Setiap rumah memiliki 2 hingga 6 kamar dan kamar mandi. Barrack-hall paling depan dikhususkan untuk pekerja perempuan yang memang jumlahnya tidak banyak. Tidak sampai 30 orang. Barrack-hall khusus perempuan ini dijaga ketat selama 24 jam penuh oleh beberapa petugas sekuriti. Barangkali jika ada, akan ditambah seekor serigala. Kami para pekerja perempuan layaknya anak-anak asrama yang segala tingkahnya mesti diawasi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Padahal kami semua sudah dewasa. :))

Karena jumlahnya tidak banyak, pekerja-pekerja perempuan dari beberapa perusahaan sub-kontraktor tinggal bercampur di barrack-hall yang sama. Di sanalah kami mengenal satu sama lain, sesama perantau dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Di hari pertama saya tiba di proyek, saya langsung dijejali cerita oleh seorang teman baru yang cerewet. Namanya Niar. Dia orang lokal. Berdarah separuh Sumbawa separuh Padang yang lama tinggal di Jawa sehingga logat bicaranya mirip orang Tegal. 

"Putti, kamu punya pacar?" tanya Niar. Saya cuma tersenyum menggeleng. "Bagus. Kamu bisa cari pacar di sini. Engineer dari Trakindo itu guanteng-guanteng dan banyak yang bujangan! Nanti kalo kamu dapat satu, kamu mesti hati-hati sama bapak-bapak sekuriti di sini. Gualak-gualak!" 

Iya, Niar memang benar. Galaknya bapak-bapak sekuriti di sini nggak kalah dari polisi-polisi yang bertugas di kawasan 3 in 1 Sudirman, Jakarta. Laki-laki siapapun dinyatakan haram untuk menginjak barrack-hall khusus perempuan. Dulu saya sempat mengira saking galaknya, kalau ada laki-laki yang nekad berkunjung ke barrack-hall kami maka dia akan ditembak di tempat. Sampai mati.

Yang terkenal paling galak dari semuanya adalah Pak Agus, sang Kepala Sekuriti khusus di area barrack-hall, Concentrator. Berkumis tebal dan berperut gendut. Kami semua pekerja perempuan -entahlah- justru merasa sangat takut jika mesti berpapasan dengan Bapak Kepala Sekuriti ini ketimbang merasa aman karena telah dijaga.

Beberapa teman perempuan yang punya pacar sesama orang proyek seringkali memberi sebungkus kue dan rokok pada Bapak Kepala Sekuriti supaya dia tidak perlu menembak mati pacar-pacar mereka yang ketahuan berkunjung ke barrack-hall khusus perempuan.

Gosip tentang cowok menyebar lebih cepat daripada apapun. Jika buku adalah sumber segala pengetahuan, maka Niar adalah sumber segala gosip. Dia bisa tahu darimana seorang cowok berasal, lengkap dengan informasi makanan kesukaannya dan apa agamanya. Dia pun bisa tahu apakah cowok-cowok itu sudah kawin atau masih bujangan, atau sudah kawin tapi pura-pura bujangan supaya bisa kawin lagi, atau sudah kawin tapi doyan icip-icip sesama teman proyek. Lalu yang masih bujangan tapi punya pacar, apakah pacarnya orang proyek juga atau bukan. Kalo ya, kemana mereka biasa pacaran di akhir pekan, apakah ke Maluk, ke Sumbawa Besar, atau nyeberang ke Lombok, atau bahkan ke Bali. Ajaib.

Selain gosip tentang cowok, Niar juga menyimpan banyak cerita tentang perempuan-perempuan proyek. Siapa yang alim, dan siapa yang alimnya keterlaluan. Siapa yang biasa-biasa saja. Siapa yang menjadi simpanan bule, siapa yang dikawin resmi sama si bule lalu berlagak merasa punya status sosial lebih tinggi dari sesama pribumi lainnya, siapa yang cuma dipacarin, ditidurin, lalu ditinggalin karena kontrak kerja si bule keburu habis dan nggak balik lagi ke Indonesia, atau siapa yang dikawin resmi lalu diboyong ke negara asal si bule.

Termasuk cerita tentang seseorang bernama Eeva (bukan nama sebenarnya, tentu saja ^^). Kami bukan berasal dari perusahaan yang sama, tapi rasanya hampir seluruh penghuni Concentrator mengenal dia, yang dulu, setahun yang lalu, sewaktu pertama kali datang ke proyek, mengenakan pakaian serba tertutup. Waktu itu ia masih bernama Siti Latipah. Entah apa yang membuat dia mengganti namanya sendiri dan bermetamorfosis menjadi Eeva.

Barangkali kerasnya pergaulan dan persaingan di proyek yang membuat Eeva mengubah dirinya sendiri, mengecat rambutnya menjadi cokelat separuh pirang, tidak pernah lupa menyelipkan rokok di antara jari-jarinya yang selalu berkutek merah menyala, berbicara casciscus, lalu mengencani bule.

Selayaknya setiap perempuan di manapun mereka berada, perempuan-perempuan di proyek pun bergaul dengan cara berkelompok. Dan Eeva adalah kepala geng di kelompok cewek yang cukup populer di area Concentrator. Ada juga dua geng lain yang juga populer dan bersaing dengan geng Eeva, tapi menurut cerita Niar, Eeva tidak suka, tidak pernah suka, jika ada cewek di Concentrator yang popularitasnya melebihi dirinya. Untungnya ketika saya tiba di proyek, saya termasuk cewek pendiam yang biasa-biasa saja sehingga tidak dianggap sebagai 'ancaman dalam pergaulan' bagi dunia Eeva.

Dari cara dia membawakan dirinya, Eeva tidak begitu akrab dengan para pekerja laki-laki yang status kepegawaiannya lebih rendah daripada dirinya. Misalnya, para pekerja non-skilled. Dia cuma mau bergaul akrab dengan bule. Baik bule putih maupun bule hitam.

* * *

Nggak semua barrack-hall dilengkapi dengan fasilitas televisi. Jadi, kalau mau nonton tivi, kami mesti ke mess-hall dan itu yang biasa kami lakukan setiap malam setelah makan malam. Nonton tivi atau sekadar duduk-duduk di mess-hallMess-hall ini menjadi tempat bertemunya kami sesama pekerja proyek, laki-laki dan perempuan, bule ataupun pribumi.

Malam itu karena jam sudah menunjukkan pukul 21.30, jam dimana para sekuriti menjadi lebih bengis dari biasanya, maka kami cewek-cewek pulang ke barrack-hall masing-masing.

Ketika berjalan melewati rumah tetangga, sekilas saya mendengar ada suara cowok. Karena sepi, maka suara itu terdengar cukup jelas, setidaknya di telinga saya. Saya dan Diana saling bertatap mata (ohya, saya dan Diana pun tinggal di rumah yang sama sewaktu di Concentrator). Dengan pandangan "tahu sama tahu" kami berdua memilih diam dan masuk ke rumah langsung ke kamar masing-masing.

Di dalam kamar, saya nggak bisa diam. Gelisah membayangkan apa yang sedang terjadi di rumah sebelah. Tepatnya, gelisah membayangkan apa yang akan segera terjadi di rumah sebelah.

Jam menunjukkan pukul 22 tepat.

Tiba-tiba saya mendengar suara langkah kaki yang seperti sengaja dihentak keras-keras menaiki tangga barrack-hall kami. Pak Agus sang Kepala Sekuriti! Saya berteriak dalam hati. Saya ketakutan. Padahal saya tidak melakukan apa-apa yang sekiranya akan membuat saya ditembak mati.

Kemudian terdengar suara pintu rumah tetangga yang digedor cukup keras, membangunkan seluruh penghuni barrack-hall hingga ke ujung terjauh.

Jam beranjak ke pukul 22 lewat 10 detik.

Pintu rumah tetangga digedor makin keras. Saya mengintip ke luar melalui jendela. Hampir seluruh tetangga di jajaran barrack-hall depan pun terlihat melakukan hal yang sama: mengintip penuh gelisah dari balik jendela.

Jam beranjak ke pukul 22 lewat 20 detik.

Pak Agus membuka paksa pintu rumah tetangga dengan sekali tendangan kaki kanan yang luar biasa keras. Pintu terhempas ke dalam. Keributan terdengar. Dua orang berdebat kencang dan kemudian saling berteriak satu sama lain. Yang satu berbicara dalam Bahasa Inggris dengan aksen Australia, yang satu lagi Bahasa Inggris dengan aksen Suroboyo.

Jam beranjak ke pukul 22 lewat 30 detik.

Pak Agus bersama dua orang petugas sekuriti terlihat menggelandang seorang cowok bule layaknya pak polisi yang menggelandang seorang yang kedapatan mencopet, pergi meninggalkan barrack-hall kami.

Malam itu saya tidak bisa tidur.

* * *

Maluk adalah satu-satunya hiburan bagi kami seluruh pekerja proyek, yang dapat ditempuh dengan kendaraan 4WD selama sekitar 30 menit dari Concentrator, ke arah barat. Maluk adalah sebuah kecamatan kecil yang terletak persis bersebelahan dengan Batu Hijau Project. Salah satu desa di Maluk, bernama Benete, termasuk ke dalam daerah kekuasaan Batu Hijau Project yang digunakan sebagai pelabuhan. Benete Port. Pusat orang-orang masuk ke dan keluar dari Batu Hijau Project melalui perjalanan laut. Di Benete pula terdapat landasan helikopter untuk para petinggi Newmont dan para pejabat pemerintah pusat maupun daerah yang berkunjung ke sini menggunakan helikopter (di tahun itu, Batu Hijau Project belum memiliki airstrip -istilah untuk bandara udara versi mini yang dapat menampung pesawat berkapasitas di bawah 20 penumpang).

Ya, Maluk adalah surga kecil bagi kami. Di sanalah terdapat berbagai rumah makan dari yang kecil hingga yang mewah ("mewah" ukuran Maluk ya, bukan Jakarta) dimana para petinggi Newmont biasa menjamu para pejabat pemerintah. Di sana juga terdapat cafebar, karaoke, motel-motel baik bergaya western maupun yang tampak biasa saja, toko serba ada yang harganya bukan main mahal, hingga salon yang digemari bapak-bapak.

Saya, Diana, dan beberapa teman lain kadang pergi ke Maluk di hari Minggu sore untuk mencicipi restoran lokal di sana. Atau masakan di restoran Sunda, jika saya sudah merasa kangen dengan masakan Ibu di rumah. Restoran Sunda adalah satu-satunya rumah makan di Maluk yang menyediakan ayam goreng ala Bandung, sayur asam lengkap dengan sambal terasi. Menu pengobat rindu.

Di salah satu sudut Maluk ke arah selatan, terdapat sebuah salon berukuran sedang. Di dalam salon tersebut terdapat ruang tunggu yang cukup luas, ruang tengah tempat melayani potong rambut dan creambath, lalu bagian belakang yang terdiri dari bilik-bilik kecil untuk layanan pijat seluruh badan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian bapak-bapak pekerja proyek senang mampir ke sana untuk melepas penat. Pijatan mbak-mbak salonnya luar biasa, jempolan!, konon katanya begitu. Beberapa di antara mereka, mbak-mbak itu, kemudian dipacari -atau bahkan dikawin, yang penting halal- oleh beberapa bapak-bapak yang memang nggak kuat menahan, sebab untuk bertemu istri di kampung halaman saja mereka harus menunggu selama 4 bulan sekali.

Begitulah.

Postingan populer dari blog ini

Klotok Boat Drag Race

Misteri Arak Cina

Nirvana In Fire (2015)